judi sebagai gejala sosial


JUDI SEBAGAI GEJALA SOSIAL
( PERSPEKTIF HUKUM ISLAM )

A. PENDAHULUAN
     Di zaman sekarang ini banyak di jumpai permainan yang menjanjikan berbagai macam hadiah. Permainan tersebut baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, melalui media elektronik ( misalnya melalui internet ) maupun media cetak. Dengan berbagai macam dalih yang dilontarkan para pemainnya bahwa permainan tersebut sebagai bentuk hiburan. Akan tetapi kenyataannya permainan tersebut dicampuri dengan perjudian, artinya sering dijumpai di masyarakat, baik di lingkungan tempat tinggal, di pasar, bahkan di tempat kerja, permainan ini dibarengi dengan melakukan taruhan antara pemainnya.
     Fenomena di atas berakibat adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Bisa pula berakibat pihak yang di untungkan terlena dengan keuntungan yang diraihnya, dengan tanpa melalui kerja keras dan jerih payahnya sendiri. Sedangkan pihak yang dirugikan merasa kecewa, putus asa bahkan sampai menyimpan dendam pada pihak yang mengalami keuntungan. Fenomena ini sering dijumpai pada masyarakat dewasa ini, yang tentunya situasi seperti itu dapat membahayakan tatanan kehidupan masyarakat.
Melihat fenomena ini, penulis akan memaparkan Perspektif Hukum Islam terhadap persoalan tersebut, dan tentunya dengan melihat gejala Sosiologis yang terjadi di kalangan masyarakat.

B. KRONOLOGIS (SEJARAH) JUDI
Berdasarkan penggalian arkeologi di Mesir, ditemukan sejenis permainan yang diduga berasal dari tahun 3.500 sebelum Masehi. Pada lukisan makam dan gambar keramik terlihat orang yang sedang melempar astragali (tulang kecil di bawah tumit domba atau anjing, yang disebut pula tulang buku kaki) dan papan pencatat untuk menghitung nilai pemain. Tulang ini memiliki empat sisi yang tidak rata, setiap sisi diduga memiliki nilai tersendiri. Astragali juga dimainkan oleh penduduk Yunani dan Romawi, yang membuat tiruannya dari batu dan logam. Orang kuno juga berjudi dengan menggunakan sebatang tongkat kecil.
Cerita tentang judi paling banyak ditemukan pada kebudayaan Asia, termasuk Asia Tenggara, Jepang, Filipina, Cina dan India. Ada yang menceritakan permainan judi antara dewa, antara manusia, dan antara dewa dan manusia. Taruhannya berupa kaum wanita (istri, saudara perempuan, anak perempuan), bagian dari tubuh, atau bahkan jiwa.
Berdasarkan gambaran di atas, bahwa permainan judi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dewasa ini, tapi juga telah ada semenjak tahun 3.500 sebelum Masehi, yang ditemukan berdasarkan penelitian para tokoh sejarah. Pada masa Jahiliah-pun terdapat berbagai macam bentuk permainan judi. Dalam hal ini judi (al-Maisir) pada masa jahiliah terbagi dalam dua bentuk yaitu : al-mukhatarah dan at-tajzi’ah. Dalam bentuk al-mukhatarah, dua orang laki-laki atau lebih menempatkan harta dan istri mereka masing-masing sebagai taruhan dalam suatu permainan. Orang yang berhasil memenangkan permainan itu berhak mengambil harta dan istri dari pihak yang kalah.        Harta dan istri yang sudah menjadi milik pemenang itu dapat diperlakukannya sekehendak hatinya. Jika dia menyukai kecantikan perempuan itu, dia akan mengawininya, namun jika dia tidak menyukainya, perempuan itu diambilnya sebagai budak atau gundik. Bentuk ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Dalam bentuk at-tajzi’ah, seperti dikemukakan oleh Imam al-Qurtubi, permainannya adalah sebagai berikut : Sebanyak 10 orang laki-laki bermain kartu yang terbuat dari potongan-potongan kayu (karena ketika itu belum ada kertas). Kartu yang disebut al-azam atau al-aqlam itu berjumlah 10 buah, yaitu al-faz berisi satu bagian, at-tau’am dua bagian, ar-raqib tiga bagian, al-halis empat bagian, an-nafis lima bagian, al-musbil enam bagian, dan al-mu’alli berisi tujuh bagian, yang merupakan bagian terbanyak. Sedang kartu as-safih, al-manih, dan al-waqd merupakan kartu kosong. Jadi jumlah keseluruhan dari 10 nama kartu tersebut adalah 28 buah. Kemudian seekor unta dipotong menjadi 28 bagian sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut. Selanjutnya kartu dengan nama-nama sebanyak 10 buah itu dimasukkan ke dalam sebuah karung dan diserahkan kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu itu kemudian dikocok dan dikeluarkan satu per satu hingga habis. Setiap peserta mengambil bagian dari daging unta itu sesuai dengan isi atau bagian yang tercantum dalam kartu tersebut. Mereka yang mendapatkan kartu kosong, yaitu tiga orang sesuai dengan jumlah kartu kosong, dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan merekalah yang harus membayar unta tersebut. Sedangkan mereka yang menang, sedikitpun tidak mengambil daging unta hasil kemenangan itu, melainkan seluruhnya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Mereka yang menang saling membanggakan diri dan melibatkan pula suku atau kabilah mereka masing-masing . Disamping itu, mereka juga mengejek dan menghina pihak yang kalah dengan menyebut-nyebut dan melibatkan pula kabilah mereka. Tindakan mereka ini selalu berakhir dengan perselisihan, percekcokan, bahkan saling membunuh dan peperangan.
Berdasarkan uraian di atas, dengan jelas tergambar bahwa betapa buruknya akibat perjudian yang dilakukan pada masa Jahiliah, bahkan yang sangat tidak berperikemanusiaan adalah perjudian dalam bentuk pertama (al-mukhatarah), yang menjadikan istri masing-masing pihak yang berjudi sebagai taruhannya. Demikian pula perjudian bentuk kedua (at-tajzi’ah), berdampak pada rusaknya hubungan sosial dan saling melecehkan antara kabilah (suku). Hal ini sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang sangat menghargai aspek kemanusiaan.
Di Indonesia, judi ditandai dengan adanya relief di candi Borobudur yang menggambarkan sejenis permainan judi. Masuknya Islam, yang melarang segala bentuk perjudian, juga membawa pengaruh. Namun judi tetap dapat ditemukan pada hampir semua suku bangsa di Indonesia. Artinya bahwa perjudian banyak ditemukan pada masyarakat Indonesia, walaupun bentuknya berbeda-beda, bahkan terdapat beberapa suku di Indonesia yang biasa berjudi pada saat upacara adat.

C. JUDI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Judi atau al-Maysir (bahasa Arab), gambling (bahasa Inggris) adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan atau mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula.       Dalam hal ini judi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah permainan yang mengandung unsur taruhan (semua bentuk taruhan) dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut.
Dalam Qur’an al-Karim, kata al-Maysir, disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam QS. al-Baqarah (2) : 219, dan QS. al-Maidah (5) :90 dan 91.
1. QS. al-Baqarah (2) : 219
Yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya
2. QS. al-Maidah (5) : 90
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
3. QS. al-Maidah (5) : 91
Terjemahnya:
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Hadis Nabi yang terkait dengan larangan berjudi, sebagaimana tertuang dalam salah satu hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut :
Artinya : “…Barangsiapa mengajak temannya bermain judi, maka hendaklah ia tebus dengan bersedekah”.
Dalam QS. al-Baqarah (2) : 219, Allah Swt menjelaskan bahwa khamar dan al-maysir mengandung dosa besar dan juga beberapa manfaat bagi manusia. Akan tetapi, dosanya lebih besar dari manfaatnya. Manfaat yang dimaksud, khususnya mengenai al-maysir (judi) adalah manfaat yang hanya dinikmati oleh pihak yang menang, hal ini dipahami melalui bentuk al-maysir pada masa Jahiliah, dimana pada bentuk permainan al-mukhatarah pihak yang menang bisa memperoleh harta kekayaan yang dijadikan taruhan dengan mudah, sedang pada bentuk al-tajzi’ah, pihak yang menang merasa bangga. Akan tetapi pada ayat ini ditegaskan bahwa al-maisir dipandang sebagai salah satu di antara dosa-dosa besar yang dilarang agama.
     Selanjutnya penegasan bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, hal ini sangat memperjelas akibat buruk yang ditimbulkannya. Kemudian dinyatakan dalam QS. al-Maidah (5) : 90, bahwa al-maysir sebagai perbuatan setan yang wajib dijauhi oleh kaum muslim. Karena sangat jelas bahwa judi dapat membuat para pelaku bermusuhan, bahkan saling membunuh (sebagai akibat buruk yang paling besar), disamping itu dapat menghalangi dari mengingat Allah Swt. Artinya karena terlena dengan perjudian, maka para pemain judi akan lupa dan lalai untuk melaksanakan kewajibannya untuk beribadah kepada Allah Swt ( dzikrullah dan sholat). Sebagaimana dipertegas pada QS. al-Maidah (5) : 91. Oleh sebab itu sangat tepat adanya larangan judi tersebut.
Dihubungkannya Lafaz khamar dan maysir, karena bahayanya hampir sama, baik bahaya bagi individu, keluarga maupun masyarakat. Pecandu minuman keras (khamar) hampir sama dengan pecandu judi (maysir), kedua-duanya dapat melalaikan orang dari melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik kepada Allah Swt maupun kepada sesama manusia.
Kemudian terkait dengan hadis Nabi diatas, “Barangsiapa mengajak temannya bermain judi, maka hendaklah ia bersedekah”, menurut Asy-Saukani dalam kitabnya : Nailul Authar, menyatakan bahwa lafaz “hendaknya bersedekah” itu, menunjukkan dilarangnya bermain judi, karena sedekah yang diperintahkan itu sebagai tebusan untuk suatu perbuatan dosa. Ia menyatakan bahwa bermain judi, yang dipergunakan kata-kata qumar atau maysir, adalah suatu bentuk permainan yang biasa dilakukan orang-orang Arab. Menurutnya permainan apa saja yang terdapat unsur untung rugi, dapat dikategorikan sebagai judi.
Aturan hukum Islam diatas, pada dasarnya bertujuan untuk mendidik pribadi muslim, agar memiliki berkepribadian mulia, menegakkan keadilan dalam masyarakat dan memenuhi kepentingan atau memelihara kebaikan hidup yang hakiki. Dalam hal ini hukum Islam sangat memperhatikan kepentingan hidup manusia, oleh karenanya jangan sampai kepentingan ini dilanggar, sehingga merusak keselamatan manusia itu sendiri.
     Muhammad Ali as-Shabuny, dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam menyatakan bahwa para ulama sependapat bahwa judi (al-maysir) hukumnya adalah haram. Kesepakatan keharaman ini karena lafaz ayat QS. al-Baqarah (2) : 219 (pada keduanya terdapat dosa besar). Ulama sepakat bahwa setiap permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja seperti catur, dadu dan lain-lainnya yang sekarang ini disebut ‘ya nashib’ (lotre atau adu nasib), baik yang bertujuan untuk tujuan kebaikan, seperti dana sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu termasuk keuntungan yang tidak baik, dan bahwasanya Allah Swt adalah dzat yang bagus, Ia tidak menerima melainkan yang bagus (baik).
Hal ini dipertegas dengan pendapat Sayyid Sabiq, bahwa tidak dibolehkan melakukan taruhan apabila seorang di antara yang bertaruh menang lalu dia mendapatkan taruhan itu, sedangkan yang kalah ia berutang kepada temannya, hal tersebut dikategorikan perjudian yang diharamkan.
Ibnu Sirin, berpendapat bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu adalah judi. Dan al-Alusi berpendapat pula : tergolong maysir, segala permainan judi seperti dadu, catur dan lain-lainnya.
Adapun permainan dadu (nard) maka telah menjadi ijma’ atas haramnya, karena berdasarkan hadis Nabi :
Artinya : “Dari Abu Musa, dari Nabi Saw, beliau bersabda : “Barangsiapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-nya”.
Jika dipahami pelarangan diatas, maka hadis ini tertuju pada orang-orang yang bermain dadu disertai taruhan. Hal ini didasari dengan sebuah riwayat bahwa Ibnu Mughaffal dan Ibnu Musayyab membolehkan bermain dadu asal tidak taruhan.
Kemudian dalam kaitannya dengan permainan catur, Imam Syafi’i membolehkan permainan catur dengan syarat-syarat : Apabila permainan catur tanpa taruhan, tanpa omongan yang melampaui batas, dan tidak sampai melalaikan sholat, maka tidak haram dan tidak termasuk maysir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak demikian, maka tidak termasuk judi.
Salah satu riwayat dari Abu Hurairah, Sa’id Ibnu Musayyab dan Sa’id bin Jubair bahwa mereka membolehkan permainan catur, mereka berdalil bahwa yang menjadi perkara pokok itu adalah kebolehan. Sdangkan nash yang mengharamkannya tidak ada dan ia tidak termasuk dalam pengertian yang dinashkan keharamannya, dengan demikian ia tetap dibolehkan. Mereka yang membolehkan memberikan syarat-syarat yaitu :
1) Tidak melalaikan atas kewajiban agama
2) Tidak menggabungkan dengan taruhan
3) Tidak muncul hal yang bertentangan dengan syariat Allah saat dimainkan.
Berbeda dengan perlombaan yang dilakukan tanpa taruhan, maka hal ini dibolehkan. Perlombaan yang dibolehkan adalah dalam bentuk-bentuk berikut ini:
1) Dibolehkan mengambil harta dalam perlombaan, apabila harta itu dari penguasa atau orang lain, seperti apabila penguasa mengatakan kepada mereka yang berlomba : “Barangsiapa diantara kalian yang menang dalam perlombaan ini, maka akan mendapatkan sejumlah harta ini”.
2) Apabila seorang diantara dua orang yang berlomba itu mengeluarkan harta dan mengatakan kepada pemannya : “Apabila engkau menang dalam perlombaan, maka harta tersebut bagimu. Akan tetapi, apabila aku yang menang, maka engkau tidak mendapatkan sesuatu dariku dan aku tidak mendapatkan sesuatu darimu”.
3) Apabila harta tersebut dari dua orang yang ikut perlombaan ataupun dari sekumpulan peserta, sedangkan diantara mereka terdapat seorang yang berhak mengambil harta itu apabila ia menang, dan dia tidak berutang bila dia kalah.
Berdasarkan kriteria diatas, dapatlah dipahami bahwa jika terdapat perlombaan yang ada unsur taruhannya, misalnya terdapat perlombaan, dimana salah satu peserta mengajak peserta lain untuk bertaruh, siapa yang kalah harus membayar dengan sejumlah uang, dan peserta yang diajak mau bertanding, maka jenis perlombaan ini dilarang (haram), karena masing-masing peserta menghadapi untung atau rugi. Dalam hal ini, bahwa unsur utama dari judi (al-maysir) tersebut adalah “taruhan”. Karena taruhan tersebut merupakan illat (sebab) haramnya judi. Dengan demikian semua jenis permainan yang mengandung unsur taruhan, seperti lotre, ya nashib, binggo, ding dong, dan lain-lain, demikian pula permainan kelereng yang dilakukan oleh anak-anak yang memakai taruhan, adalah al-maysir, maka hukum melakukannya adalah haram.
Jika merujuk pada dalil-dalil al-Qur’an dan hadis Nabi (yang telah disebutkan sebelumnya), bahwa pelarangan ini mengandung hikmah yang agung dan tujuan yang mulia, yaitu :
Islam menghendaki agar setiap muslim mengikuti sunnatullah (hukum alam) dalam mencari penghasilan. Hendaklah ia menuai hasil kerja setelah beberapa langkah dilakukan sebelumnya, memasuki rumah melalui pintunya, dan menanti akibat setelah unsur penyebab diwujudkannya. Adapun judi, maka ia menyebabkan orang hanya mengandalkan nasib baik, kebetulan dan mimpi-mimpi kosong, bukannya mengandalkan kerja keras, kesungguhan, dan penghargaan atas usaha yang telah digariakan Allah Swt dan diperintahkan untuk dilakukan.
Islam menjadikan harta manusia sesuatu yang terhormat, karenanya tidak boleh diambil semena-mena, kecuali dengan cara saling tukar yang telah disyariatkan, atau dalam bentuk pemberian dengan suka rela, baik berupa hibah atau sedekah. Adapun mengambil harta orang lain dengan cara judi, ia termasuk memakan harta orang lain dengan batil.
Tidaklah mengherankan setelah itu, kalau perjudian membangkitkan permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak pemain, meskipun secara lahir mereka menampakkan kerelaan. Demikian itu karena pasti ada pihak yang kalah dan yang menang, yang untung dan yang rugi, yang menipu dan yang tertipu. Bila yang kalah tampak diam, diamnya itu menyimpan kekecewaan dan dendam, kecewa karena gagal meraih mimpi-mimpinya, dan dendam karena menderita kerugian. Bila ia lalu bermusuhan, itu karena sesuatu yang dibangunnya sendiri, karena sesuatu yang diciptakannya sendiri.
Kekalahan dapat mendorong penderitanya untuk mengulangi lagi, karena barangkali permainan yang kedua dapat mengganti kerugian pada permainannya yang pertama. Sedangkan nikmatnya kemenangan, juga mendorong pelakunya untuk mengulangi permainan, karena untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih banyak lagi. Ambisinya tidak pernah membiarkan dirinya berhenti, padahal sebentar lagi kekalahan akan menimpanya, lalu bergantilah girangnya kemenangan dengan sedihnya kekalahan. Begitulah seterusnya, sehingga kedua pihak akan selalu terikat oleh meja judi, hampir-hampir mereka tidak mampu lagi berpisah. Inilah rahasia bencana kecanduan pada dua pihak yang berjudi.
Berangkat dari kenyataan ini, kegemaran semacam ini sungguh berbahaya bagi masyarakat, selain juga berbahaya bagi individu pemainnya. Ia merupakan hobi yang dapat menelan waktu dan kesungguhan, menjadikan para pecandunya sebagai para penganggur, hanya mau mengambil namun tidak mau memberi, hanya mau mengkonsumsi namun tidak mau memproduksi.
Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang melakukan perjudian, dari hari kehari semakin jelas terlihat, bagaimana besarnya bahaya judi bagi kehidupan mereka, bahkan yang paling terpuruk adalah banyaknya keluarga yang berantakan akibat judi. Oleh karenanya sangat bijaksana jika Allah Swt (dalam beberapa dalil al-Qur’an diatas) dan hadis Nabi mengharamkan judi, karena sangat berbahaya dan menimbulkan kerusakan, tidak hanya merusak jiwa, tapi juga merusak akal, badan an harta.
Dalam salah satu Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah fiqih), yang merupakan kaidah induk / utama disebutkan : الضّرر يزال (bahaya itu harus dihilangkan), jika dikaitkan dengan banyaknya akibat buruk yang ditimbulkan oleh permainan judi, maka kaidah ini sesuai dengan logika akal yang sehat. Dengan demikan judi dalam bentuk apapun, harus segera dihilangkan (dimusnahkan).

D. ATURAN JUDI DI INDONESIA
Di Indonesia, permainan yang mengandung unsur taruhan ini disebut “Judi”. Dengan memakai uang sebagai taruhannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303, ayat (3), ditegaskan bahwa :
Permainan judi ialah permainan di mana kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila kemungkinan itu makin besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan dan permainan dan lain-lainnya yang tidak diadakan di antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lain-lainnya.
Dalam KUHP, pasal 303, ayat (1) ditegaskan hukuman yang berkaitan dengan pelaksanaan judi tersebut. Hukuman atas mereka yang menjadi fasilitator, yang menyiapkan sarana dan mengajak orang untuk melakukannya adalah paling lama sepuluh tahun, sedangkan bagi mereka yang terlibat sebagai pemain judi hukumannya paling lama empat tahun.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, permainan judi ini dilarang dengan keluarnya Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1912 Nomor 230, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526, pasal 303 dan pasal 542 KUHP. Dalam Staasblad Tahun 1912 misalnya, yang dilarang hanya segala bentuk perjudian yang menggunakan sistem bandar. Akan tetapi, judi boleh dilakukan apabila ada izin kepala daerah. Sedang dalam KUHP dilarang segala bentuk perjudian yang dilakukan di tempat umum, terbuka dan digunakan sebagai mata pencaharian serta tanpa izin dari kepala daerah.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, menegaskan bahwa semua bentuk perjudian dikategorikan tindak kejahatan. Penjudi yang tertangkap dapat dihadapkan ke meja hijau (Pengadilan). Dan berdasarkan Instruksi Presiden RI, Nomor 7 Tahun 1981, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1981, bahwa segala bentuk perjudian dilarang di Indonesia.
Adanya perbedaan persepsi terhadap judi di Indonesia, dalam Ensiklopedi di Indonesia dinyatakan bahwa arti judi itu sendiri perlu lebih ditegaskan. Di kalangan penegak hukum, terdapat kecenderungan menilai suatu perbuatan sebagai judi atau tidak dari skala kegiatan dan pengaruhnya. Taruhan kecil-kecilan (misalnya sabung ayam) yang dilakukan untuk mengisi waktu, umumnya dibiarkan saja. Padahal ini bisa merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Walaupun judi dilarang, sejak awal tahun 1986 pemerintah Indonesia mengizinkan beredarnya sejenis permainan menebak, yang lebih dikenal dengan Porkas, yang menurut pemerintah tidak termasuk judi. Porkas dimaksudkan untuk mengumpulkan dana masyarakat bagi kegiatan olahraga nasional. Tetapi sebagian kalangan agama menganggapnya sebagai judi. Ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan di media-media massa. Dalam perkembangannya, nama Porkas kemudian diganti dengan Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB), Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB), dan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Walaupun demikian, prinsip dasarnya tetap serupa, karena mengandung taruhan yang dikaitkan dengan hasil pertandingan antara dua kesebelasan yang bertanding.
Sebenarnya jika dianalisa sanksi perjudian yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jika benar-benar ditegakkan oleh semua pihak (yang berkompeten), maka secara substansial sudah mencerminkan syari’at Islam.
      
E. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan : Bahwa semua permainan yang terdapat unsur taruhan didalamnya termasuk kategori judi, dan Islam mengharamkan judi. Pada dasarnya judi sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, diamping berbahaya bagi pribadi, keluarga dan masyarakat, juga sangat melanggar norma agama yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Judi tidak hanya berdampak pada permusuhan dan kemarahan di antara pemainnya, tetapi berdampak pula pada kelalaian dari dzikrullah dan sholat (melalaikan kewajiban agama). Sudah sepantasnya umat Islam menjauhi hal-hal yang bisa merusak dirinya, masyarakat dan nilai-nilai agam

F. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhary, Shahih Bukhary, Juz.IV, ( al-Nashr : Maktabah Dahlan Indonesia, t.th )
Abdul Aziz Dahlan et.al (Editor)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Grafindo, 1994)

Post a Comment

0 Comments