JUDI SEBAGAI GEJALA SOSIAL
( PERSPEKTIF HUKUM ISLAM )
( PERSPEKTIF HUKUM ISLAM )
A. PENDAHULUAN
Di zaman sekarang ini
banyak di jumpai permainan yang menjanjikan berbagai macam hadiah. Permainan
tersebut baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, melalui media
elektronik ( misalnya melalui internet ) maupun media cetak. Dengan berbagai
macam dalih yang dilontarkan para pemainnya bahwa permainan tersebut sebagai
bentuk hiburan. Akan tetapi kenyataannya permainan tersebut dicampuri dengan
perjudian, artinya sering dijumpai di masyarakat, baik di lingkungan tempat
tinggal, di pasar, bahkan di tempat kerja, permainan ini dibarengi dengan
melakukan taruhan antara pemainnya.
Fenomena di atas berakibat
adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Bisa pula berakibat pihak
yang di untungkan terlena dengan keuntungan yang diraihnya, dengan tanpa
melalui kerja keras dan jerih payahnya sendiri. Sedangkan pihak yang dirugikan
merasa kecewa, putus asa bahkan sampai menyimpan dendam pada pihak yang
mengalami keuntungan. Fenomena ini sering dijumpai pada masyarakat dewasa ini,
yang tentunya situasi seperti itu dapat membahayakan tatanan kehidupan
masyarakat.
Melihat fenomena ini, penulis akan memaparkan Perspektif Hukum Islam
terhadap persoalan tersebut, dan tentunya dengan melihat gejala Sosiologis yang
terjadi di kalangan masyarakat.
B.
KRONOLOGIS (SEJARAH) JUDI
Berdasarkan penggalian arkeologi di Mesir, ditemukan sejenis
permainan yang diduga berasal dari tahun 3.500 sebelum Masehi. Pada lukisan
makam dan gambar keramik terlihat orang yang sedang melempar astragali (tulang
kecil di bawah tumit domba atau anjing, yang disebut pula tulang buku kaki) dan
papan pencatat untuk menghitung nilai pemain. Tulang ini memiliki empat sisi
yang tidak rata, setiap sisi diduga memiliki nilai tersendiri. Astragali juga
dimainkan oleh penduduk Yunani dan Romawi, yang membuat tiruannya dari batu dan
logam. Orang kuno juga berjudi dengan menggunakan sebatang tongkat kecil.
Cerita tentang judi paling banyak ditemukan pada kebudayaan Asia,
termasuk Asia Tenggara, Jepang, Filipina, Cina dan India. Ada yang menceritakan permainan judi antara dewa,
antara manusia, dan antara dewa dan manusia. Taruhannya berupa kaum wanita
(istri, saudara perempuan, anak perempuan), bagian dari tubuh, atau bahkan jiwa.
Berdasarkan gambaran di atas, bahwa
permainan judi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dewasa ini, tapi juga
telah ada semenjak tahun 3.500 sebelum Masehi, yang ditemukan berdasarkan
penelitian para tokoh sejarah. Pada masa Jahiliah-pun terdapat berbagai macam
bentuk permainan judi. Dalam hal ini judi (al-Maisir) pada masa jahiliah
terbagi dalam dua bentuk yaitu : al-mukhatarah dan at-tajzi’ah. Dalam bentuk
al-mukhatarah, dua orang laki-laki atau lebih menempatkan harta dan istri
mereka masing-masing sebagai taruhan dalam suatu permainan. Orang yang berhasil
memenangkan permainan itu berhak mengambil harta dan istri dari pihak yang
kalah. Harta dan istri yang sudah
menjadi milik pemenang itu dapat diperlakukannya sekehendak hatinya. Jika dia
menyukai kecantikan perempuan itu, dia akan mengawininya, namun jika dia tidak
menyukainya, perempuan itu diambilnya sebagai budak atau gundik. Bentuk ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Dalam bentuk at-tajzi’ah, seperti
dikemukakan oleh Imam al-Qurtubi, permainannya adalah sebagai berikut :
Sebanyak 10 orang laki-laki bermain kartu yang terbuat dari potongan-potongan
kayu (karena ketika itu belum ada kertas). Kartu yang disebut al-azam atau
al-aqlam itu berjumlah 10 buah, yaitu al-faz berisi satu bagian, at-tau’am dua bagian,
ar-raqib tiga bagian, al-halis empat bagian, an-nafis lima bagian, al-musbil
enam bagian, dan al-mu’alli berisi tujuh bagian, yang merupakan bagian
terbanyak. Sedang kartu as-safih, al-manih, dan al-waqd merupakan kartu kosong.
Jadi jumlah keseluruhan dari 10 nama kartu tersebut adalah 28 buah. Kemudian
seekor unta dipotong menjadi 28 bagian sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut.
Selanjutnya kartu dengan nama-nama sebanyak 10 buah itu dimasukkan ke dalam
sebuah karung dan diserahkan kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu itu kemudian dikocok dan dikeluarkan
satu per satu hingga habis. Setiap peserta mengambil bagian dari daging unta
itu sesuai dengan isi atau bagian yang tercantum dalam kartu tersebut. Mereka
yang mendapatkan kartu kosong, yaitu tiga orang sesuai dengan jumlah kartu
kosong, dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan merekalah yang harus membayar
unta tersebut. Sedangkan mereka yang menang, sedikitpun tidak mengambil daging
unta hasil kemenangan itu, melainkan seluruhnya dibagi-bagikan kepada
orang-orang miskin. Mereka yang menang saling membanggakan diri dan melibatkan
pula suku atau kabilah mereka masing-masing . Disamping itu, mereka juga
mengejek dan menghina pihak yang kalah dengan menyebut-nyebut dan melibatkan
pula kabilah mereka. Tindakan mereka ini selalu berakhir dengan perselisihan,
percekcokan, bahkan saling membunuh dan peperangan.
Berdasarkan uraian di atas, dengan jelas
tergambar bahwa betapa buruknya akibat perjudian yang dilakukan pada masa
Jahiliah, bahkan yang sangat tidak berperikemanusiaan adalah perjudian dalam
bentuk pertama (al-mukhatarah), yang menjadikan istri masing-masing pihak yang
berjudi sebagai taruhannya. Demikian pula perjudian bentuk kedua (at-tajzi’ah),
berdampak pada rusaknya hubungan sosial dan saling melecehkan antara kabilah
(suku). Hal ini sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang
sangat menghargai aspek kemanusiaan.
Di Indonesia, judi ditandai dengan adanya
relief di candi Borobudur yang menggambarkan sejenis permainan judi. Masuknya Islam, yang melarang segala
bentuk perjudian, juga membawa pengaruh. Namun judi tetap dapat ditemukan pada
hampir semua suku bangsa di Indonesia. Artinya bahwa perjudian banyak ditemukan
pada masyarakat Indonesia, walaupun bentuknya berbeda-beda, bahkan terdapat
beberapa suku di Indonesia yang biasa berjudi pada saat upacara adat.
C. JUDI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Judi atau al-Maysir (bahasa Arab),
gambling (bahasa Inggris) adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan
atau mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan
berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang
lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula. Dalam hal ini judi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
permainan yang mengandung unsur taruhan (semua bentuk taruhan) dan orang yang
menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut.
Dalam Qur’an al-Karim, kata al-Maysir,
disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam QS. al-Baqarah (2) : 219, dan QS.
al-Maidah (5) :90 dan 91.
1. QS. al-Baqarah (2) : 219
Yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya
2. QS. al-Maidah (5) : 90
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
3. QS. al-Maidah (5) : 91
Terjemahnya:
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Hadis Nabi yang terkait dengan larangan
berjudi, sebagaimana tertuang dalam salah satu hadis dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut :
Artinya : “…Barangsiapa mengajak temannya
bermain judi, maka hendaklah ia tebus dengan bersedekah”.
Dalam QS. al-Baqarah (2) : 219, Allah Swt
menjelaskan bahwa khamar dan al-maysir mengandung dosa besar dan juga beberapa
manfaat bagi manusia. Akan tetapi, dosanya lebih besar dari manfaatnya. Manfaat
yang dimaksud, khususnya mengenai al-maysir (judi) adalah manfaat yang hanya
dinikmati oleh pihak yang menang, hal ini dipahami melalui bentuk al-maysir
pada masa Jahiliah, dimana pada bentuk permainan al-mukhatarah pihak yang
menang bisa memperoleh harta kekayaan yang dijadikan taruhan dengan mudah,
sedang pada bentuk al-tajzi’ah, pihak yang menang merasa bangga. Akan tetapi
pada ayat ini ditegaskan bahwa al-maisir dipandang sebagai salah satu di antara
dosa-dosa besar yang dilarang agama.
Selanjutnya
penegasan bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, hal ini sangat memperjelas akibat buruk yang ditimbulkannya.
Kemudian dinyatakan dalam QS. al-Maidah (5) : 90, bahwa al-maysir sebagai
perbuatan setan yang wajib dijauhi oleh kaum muslim. Karena sangat jelas bahwa
judi dapat membuat para pelaku bermusuhan, bahkan saling membunuh (sebagai
akibat buruk yang paling besar), disamping itu dapat menghalangi dari mengingat
Allah Swt. Artinya karena terlena dengan perjudian, maka para pemain judi akan
lupa dan lalai untuk melaksanakan kewajibannya untuk beribadah kepada Allah Swt
( dzikrullah dan sholat). Sebagaimana dipertegas pada QS. al-Maidah (5) : 91.
Oleh sebab itu sangat tepat adanya larangan judi tersebut.
Dihubungkannya Lafaz khamar dan maysir,
karena bahayanya hampir sama, baik bahaya bagi individu, keluarga maupun
masyarakat. Pecandu minuman keras (khamar) hampir sama dengan pecandu judi
(maysir), kedua-duanya dapat melalaikan orang dari melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
baik kepada Allah Swt maupun kepada sesama manusia.
Kemudian terkait dengan hadis Nabi diatas,
“Barangsiapa mengajak temannya bermain judi, maka hendaklah ia bersedekah”,
menurut Asy-Saukani dalam kitabnya : Nailul Authar, menyatakan bahwa lafaz
“hendaknya bersedekah” itu, menunjukkan dilarangnya bermain judi, karena
sedekah yang diperintahkan itu sebagai tebusan untuk suatu perbuatan dosa. Ia
menyatakan bahwa bermain judi, yang dipergunakan kata-kata qumar atau maysir,
adalah suatu bentuk permainan yang biasa dilakukan orang-orang Arab. Menurutnya
permainan apa saja yang terdapat unsur untung rugi, dapat dikategorikan sebagai
judi.
Aturan hukum Islam diatas, pada dasarnya
bertujuan untuk mendidik pribadi muslim, agar memiliki berkepribadian mulia,
menegakkan keadilan dalam masyarakat dan memenuhi kepentingan atau memelihara
kebaikan hidup yang hakiki. Dalam hal ini hukum Islam sangat memperhatikan
kepentingan hidup manusia, oleh karenanya jangan sampai kepentingan ini
dilanggar, sehingga merusak keselamatan manusia itu sendiri.
Muhammad
Ali as-Shabuny, dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam menyatakan bahwa para ulama
sependapat bahwa judi (al-maysir) hukumnya adalah haram. Kesepakatan keharaman
ini karena lafaz ayat QS. al-Baqarah (2) : 219 (pada keduanya terdapat dosa
besar). Ulama sepakat bahwa setiap permainan yang menjadikan satu pihak bisa
menang dan pihak lain kalah adalah termasuk judi yang diharamkan, baik
menggunakan sarana apa saja seperti catur, dadu dan lain-lainnya yang sekarang
ini disebut ‘ya nashib’ (lotre atau adu nasib), baik yang bertujuan untuk
tujuan kebaikan, seperti dana sosial atau yang semata-mata demi mencari
keuntungan, maka semuanya itu termasuk keuntungan yang tidak baik, dan
bahwasanya Allah Swt adalah dzat yang bagus, Ia tidak menerima melainkan yang
bagus (baik).
Hal ini dipertegas dengan pendapat Sayyid
Sabiq, bahwa tidak dibolehkan melakukan taruhan apabila seorang di antara yang
bertaruh menang lalu dia mendapatkan taruhan itu, sedangkan yang kalah ia
berutang kepada temannya, hal tersebut dikategorikan perjudian yang diharamkan.
Ibnu Sirin, berpendapat bahwa setiap
sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu adalah judi. Dan al-Alusi berpendapat
pula : tergolong maysir, segala permainan judi seperti dadu, catur dan lain-lainnya.
Adapun permainan dadu (nard) maka telah
menjadi ijma’ atas haramnya, karena berdasarkan hadis Nabi :
Artinya : “Dari Abu Musa, dari Nabi Saw,
beliau bersabda : “Barangsiapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka
kepada Allah dan Rasul-nya”.
Jika dipahami pelarangan diatas, maka
hadis ini tertuju pada orang-orang yang bermain dadu disertai taruhan. Hal ini
didasari dengan sebuah riwayat bahwa Ibnu Mughaffal dan Ibnu Musayyab
membolehkan bermain dadu asal tidak taruhan.
Kemudian dalam kaitannya dengan permainan
catur, Imam Syafi’i membolehkan permainan catur dengan syarat-syarat : Apabila
permainan catur tanpa taruhan, tanpa omongan yang melampaui batas, dan tidak
sampai melalaikan sholat, maka tidak haram dan tidak termasuk maysir (judi),
karena judi ditandai adanya pembayaran uang atau pengambilan uang, sedang
hakekat permainan catur tidak demikian, maka tidak termasuk judi.
Salah satu riwayat dari Abu Hurairah,
Sa’id Ibnu Musayyab dan Sa’id bin Jubair bahwa mereka membolehkan permainan
catur, mereka berdalil bahwa yang menjadi perkara pokok itu adalah kebolehan.
Sdangkan nash yang mengharamkannya tidak ada dan ia tidak termasuk dalam
pengertian yang dinashkan keharamannya, dengan demikian ia tetap dibolehkan.
Mereka yang membolehkan memberikan syarat-syarat yaitu :
1) Tidak melalaikan atas kewajiban agama
2) Tidak menggabungkan dengan taruhan
3) Tidak muncul hal yang bertentangan
dengan syariat Allah saat dimainkan.
Berbeda dengan perlombaan yang dilakukan
tanpa taruhan, maka hal ini dibolehkan. Perlombaan yang dibolehkan adalah dalam
bentuk-bentuk berikut ini:
1) Dibolehkan mengambil harta dalam
perlombaan, apabila harta itu dari penguasa atau orang lain, seperti apabila
penguasa mengatakan kepada mereka yang berlomba : “Barangsiapa diantara kalian
yang menang dalam perlombaan ini, maka akan mendapatkan sejumlah harta ini”.
2) Apabila seorang diantara dua orang yang
berlomba itu mengeluarkan harta dan mengatakan kepada pemannya : “Apabila
engkau menang dalam perlombaan, maka harta tersebut bagimu. Akan tetapi,
apabila aku yang menang, maka engkau tidak mendapatkan sesuatu dariku dan aku
tidak mendapatkan sesuatu darimu”.
3) Apabila harta tersebut dari dua orang
yang ikut perlombaan ataupun dari sekumpulan peserta, sedangkan diantara mereka
terdapat seorang yang berhak mengambil harta itu apabila ia menang, dan dia
tidak berutang bila dia kalah.
Berdasarkan kriteria diatas, dapatlah
dipahami bahwa jika terdapat perlombaan yang ada unsur taruhannya, misalnya
terdapat perlombaan, dimana salah satu peserta mengajak peserta lain untuk
bertaruh, siapa yang kalah harus membayar dengan sejumlah uang, dan peserta
yang diajak mau bertanding, maka jenis perlombaan ini dilarang (haram), karena
masing-masing peserta menghadapi untung atau rugi. Dalam hal ini, bahwa unsur
utama dari judi (al-maysir) tersebut adalah “taruhan”. Karena taruhan tersebut
merupakan illat (sebab) haramnya judi. Dengan demikian semua jenis permainan
yang mengandung unsur taruhan, seperti lotre, ya nashib, binggo, ding dong, dan
lain-lain, demikian pula permainan kelereng yang dilakukan oleh anak-anak yang
memakai taruhan, adalah al-maysir, maka hukum melakukannya adalah haram.
Jika merujuk pada dalil-dalil al-Qur’an
dan hadis Nabi (yang telah disebutkan sebelumnya), bahwa pelarangan ini mengandung
hikmah yang agung dan tujuan yang mulia, yaitu :
Islam menghendaki agar setiap muslim
mengikuti sunnatullah (hukum alam) dalam mencari penghasilan. Hendaklah ia
menuai hasil kerja setelah beberapa langkah dilakukan sebelumnya, memasuki
rumah melalui pintunya, dan menanti akibat setelah unsur penyebab
diwujudkannya. Adapun judi, maka ia menyebabkan orang hanya mengandalkan nasib
baik, kebetulan dan mimpi-mimpi kosong, bukannya mengandalkan kerja keras,
kesungguhan, dan penghargaan atas usaha yang telah digariakan Allah Swt dan
diperintahkan untuk dilakukan.
Islam menjadikan harta manusia sesuatu yang terhormat, karenanya tidak boleh diambil semena-mena, kecuali dengan cara saling tukar yang telah disyariatkan, atau dalam bentuk pemberian dengan suka rela, baik berupa hibah atau sedekah. Adapun mengambil harta orang lain dengan cara judi, ia termasuk memakan harta orang lain dengan batil.
Islam menjadikan harta manusia sesuatu yang terhormat, karenanya tidak boleh diambil semena-mena, kecuali dengan cara saling tukar yang telah disyariatkan, atau dalam bentuk pemberian dengan suka rela, baik berupa hibah atau sedekah. Adapun mengambil harta orang lain dengan cara judi, ia termasuk memakan harta orang lain dengan batil.
Tidaklah mengherankan setelah itu, kalau
perjudian membangkitkan permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak pemain,
meskipun secara lahir mereka menampakkan kerelaan. Demikian itu karena pasti
ada pihak yang kalah dan yang menang, yang untung dan yang rugi, yang menipu
dan yang tertipu. Bila yang kalah tampak diam, diamnya itu menyimpan kekecewaan
dan dendam, kecewa karena gagal meraih mimpi-mimpinya, dan dendam karena
menderita kerugian. Bila ia lalu bermusuhan, itu karena sesuatu yang
dibangunnya sendiri, karena sesuatu yang diciptakannya sendiri.
Kekalahan dapat mendorong penderitanya
untuk mengulangi lagi, karena barangkali permainan yang kedua dapat mengganti
kerugian pada permainannya yang pertama. Sedangkan nikmatnya kemenangan, juga
mendorong pelakunya untuk mengulangi permainan, karena untuk mendapatkan yang
lebih banyak dan lebih banyak lagi. Ambisinya tidak pernah membiarkan dirinya
berhenti, padahal sebentar lagi kekalahan akan menimpanya, lalu bergantilah
girangnya kemenangan dengan sedihnya kekalahan. Begitulah seterusnya, sehingga
kedua pihak akan selalu terikat oleh meja judi, hampir-hampir mereka tidak
mampu lagi berpisah. Inilah rahasia bencana kecanduan pada dua pihak yang
berjudi.
Berangkat dari kenyataan ini, kegemaran
semacam ini sungguh berbahaya bagi masyarakat, selain juga berbahaya bagi
individu pemainnya. Ia merupakan hobi yang dapat menelan waktu dan kesungguhan,
menjadikan para pecandunya sebagai para penganggur, hanya mau mengambil namun
tidak mau memberi, hanya mau mengkonsumsi namun tidak mau memproduksi.
Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat
yang melakukan perjudian, dari hari kehari semakin jelas terlihat, bagaimana
besarnya bahaya judi bagi kehidupan mereka, bahkan yang paling terpuruk adalah
banyaknya keluarga yang berantakan akibat judi. Oleh karenanya sangat bijaksana
jika Allah Swt (dalam beberapa dalil al-Qur’an diatas) dan hadis Nabi
mengharamkan judi, karena sangat berbahaya dan menimbulkan kerusakan, tidak
hanya merusak jiwa, tapi juga merusak akal, badan an harta.
Dalam salah satu Qawaid al-Fiqhiyah
(kaidah fiqih), yang merupakan kaidah induk / utama disebutkan : الضّرر يزال (bahaya itu
harus dihilangkan), jika dikaitkan dengan banyaknya akibat buruk yang
ditimbulkan oleh permainan judi, maka kaidah ini sesuai dengan logika akal yang
sehat. Dengan demikan judi dalam bentuk apapun, harus segera dihilangkan
(dimusnahkan).
D. ATURAN JUDI DI INDONESIA
Di Indonesia, permainan yang mengandung
unsur taruhan ini disebut “Judi”. Dengan memakai uang sebagai taruhannya. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303, ayat (3), ditegaskan bahwa :
Permainan judi ialah permainan di mana
kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila
kemungkinan itu makin besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir.
Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan dan permainan
dan lain-lainnya yang tidak diadakan di antara mereka yang turut berlomba atau
bermain, demikian juga segala pertaruhan lain-lainnya.
Dalam KUHP, pasal 303, ayat (1) ditegaskan
hukuman yang berkaitan dengan pelaksanaan judi tersebut. Hukuman atas mereka
yang menjadi fasilitator, yang menyiapkan sarana dan mengajak orang untuk
melakukannya adalah paling lama sepuluh tahun, sedangkan bagi mereka yang
terlibat sebagai pemain judi hukumannya paling lama empat tahun.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
permainan judi ini dilarang dengan keluarnya Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun
1912 Nomor 230, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526, pasal 303 dan pasal 542 KUHP.
Dalam Staasblad Tahun 1912 misalnya, yang dilarang hanya segala bentuk
perjudian yang menggunakan sistem bandar. Akan tetapi, judi boleh dilakukan
apabila ada izin kepala daerah. Sedang dalam KUHP dilarang segala bentuk
perjudian yang dilakukan di tempat umum, terbuka dan digunakan sebagai mata
pencaharian serta tanpa izin dari kepala daerah.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, menegaskan bahwa semua bentuk
perjudian dikategorikan tindak kejahatan. Penjudi yang tertangkap dapat
dihadapkan ke meja hijau (Pengadilan). Dan berdasarkan Instruksi Presiden RI,
Nomor 7 Tahun 1981, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1981, bahwa segala
bentuk perjudian dilarang di Indonesia.
Adanya perbedaan persepsi terhadap judi di
Indonesia, dalam Ensiklopedi di Indonesia dinyatakan bahwa arti judi itu
sendiri perlu lebih ditegaskan. Di kalangan penegak hukum, terdapat
kecenderungan menilai suatu perbuatan sebagai judi atau tidak dari skala
kegiatan dan pengaruhnya. Taruhan kecil-kecilan (misalnya sabung ayam) yang
dilakukan untuk mengisi waktu, umumnya dibiarkan saja. Padahal ini bisa merusak
tatanan kehidupan masyarakat.
Walaupun judi dilarang, sejak awal tahun
1986 pemerintah Indonesia mengizinkan beredarnya sejenis permainan menebak,
yang lebih dikenal dengan Porkas, yang menurut pemerintah tidak termasuk judi.
Porkas dimaksudkan untuk mengumpulkan dana masyarakat bagi kegiatan olahraga
nasional. Tetapi sebagian kalangan agama menganggapnya sebagai judi. Ini
menimbulkan polemik yang berkepanjangan di media-media massa. Dalam
perkembangannya, nama Porkas kemudian diganti dengan Kupon Sumbangan Olahraga
Berhadiah (KSOB), Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB), dan Sumbangan
Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Walaupun demikian, prinsip dasarnya tetap
serupa, karena mengandung taruhan yang dikaitkan dengan hasil pertandingan
antara dua kesebelasan yang bertanding.
Sebenarnya jika dianalisa sanksi perjudian
yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jika benar-benar
ditegakkan oleh semua pihak (yang berkompeten), maka secara substansial sudah
mencerminkan syari’at Islam.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan : Bahwa semua permainan yang terdapat unsur taruhan didalamnya
termasuk kategori judi, dan Islam mengharamkan judi. Pada dasarnya judi sangat
berbahaya bagi kehidupan manusia, diamping berbahaya bagi pribadi, keluarga dan
masyarakat, juga sangat melanggar norma agama yang mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan. Judi tidak hanya berdampak pada permusuhan dan kemarahan di antara
pemainnya, tetapi berdampak pula pada kelalaian dari dzikrullah dan sholat (melalaikan
kewajiban agama). Sudah sepantasnya umat Islam menjauhi hal-hal yang bisa
merusak dirinya, masyarakat dan nilai-nilai agam
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhary, Shahih Bukhary, Juz.IV, ( al-Nashr :
Maktabah Dahlan Indonesia, t.th )
Abdul Aziz Dahlan et.al (Editor).,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Semarang : Grafindo, 1994)
0 Comments