Isra’iliyyat



Pengerian dan Macam - Macam Isra’iliyyat

1. Pengertian

Kata Israiliyat, secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyyah; nama yang dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti ‘Abdullah (Hamba Allah). Dalam pengertian lain israiliyat dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Israiliyat identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan dogma.

Secara terminologis, kata israiliyyat, kendati pada mulanya hanya menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para ulama tafsir dan hadis menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, ada ulama yang mendefinisikan israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya. Di katakan juga bahwa israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.

Menurut Ahmad Khalil Arsyad, israiliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa agama merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan non-Islam yang masuk ke Jazirah Arab Islam yang dibawa oleh orang-orang Yahudi yang semenjak lama berkelana ke arah timur menuju Babilonia dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju Mesir.

Menurut Muhammad bin Muhammad abu Syahbah, Isra’liyyat adalah pengetahuan yang bersumber dari Bani Isra’il, kitab dan pengetahuan mereka, atau dongeng dan kebohongan mereka. Namun yang lebih tepat adalah yang di kemukakan oleh Ali Al-Hasan, bahwa isra’iliyyat ini lebih spesifik menunjukan corak keyahudian, disebabkan waktu itu aspek keyahudian tersebut sangat kental sehingga banyak terjadi penukilan dari mereka. Waktu itu jumlah mereka banyak dan tradisi mereka juga menonjol ketimbang orang Kristen. Mereka juga bergaul dengan kaum muslim.

2. Macam-macam Israiliyat

Yang dikemukakan Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu. Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam:

1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adalah haq. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami,) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. Az-Zumar: 67)

2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta, maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

3. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta, maka ini adalah bathil. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: ??????? ??????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ?????????? (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).” Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari).

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya. Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

B. Latar Belakang Timbulnya Isra’iliyaat

Sebelumnya Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka.

Pada waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak diantara mereka yang lari dan pindah ke jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada tahun 70 M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya perkembangan besar-besaran kisah-kisah Israiliyat, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau tidak terjadilah proses percampuran antara tradids bangsa Arab dengan Khasanah tradisi Yahudi tersebut.

Dengan kata lain, adanya kisah Isra’illiyat merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab Jahiliyah dan kaum yahudi serta Nasrani.

Pendapat lain menyatakan bahwa timbilnya Isra;iliyyat adalah:

Pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam sebelumya mereka adalah kaum yang berperadapan tinggi. Takkala masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dahulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.
Kedua, adanya keinginan dari kaum muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk beluk bangsa Yahudi yang berperadapan tinggi dimna Al-qur’an hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka munculah kelompok Mufassir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Akibatnya tafsir itu penuh dengan kesimpang siuran, bahkan terkadang mendekati khurafat dan tahayul.

Ketiga, adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam , Ka’ab bin Ahbar, wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah Isra’iliyyat pada kalangan muslim. Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa Isra’iliyyat masuk kedalam Islam sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Alqur’an pada masa-masa sesudahnya.

Kisah Isra’iliyyat semakin berkembang subur dikalangan Islam ketika masa tabi’in dan mencapai puncaknya pada masa tabi’ tabi’in. Pada masa tabi’in timbul kecintaan yang luar biasa pada kisah Isra’iliyyat. Mereka cenderung mengambil cerita tersebut secara ceroboh, sehingga setiap cerita yang ada hamper tidak ada yang ditolak. Mereka tidak mengembalikan cerita tersebut pada Al-qur’an, walaupun terkadang tidak dimengerti akal.

C. Pendapat Ulama Tentang Isra’iliyyat

Cerita Isra’iliyyat ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang yaitu: Abdullah bin Salam, Wahb bin bunabbih, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab lain tersebut, ada yang mencela (mencacatkan, menolak) dan ada pula yang mempercayai (menerima). Perbedaan pendapat paling besar adalah mengenai Ka’bul Ahbar. Sedang Abdullah bin salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukanya. Karena itu Bukhari dan Ahli hadist lainnya memegangi, mempercayainya. Disamping itu, kepadanya tidak dituduhkan hal-hal buruk seperti yang dituduhkan kepada Ka’bu Ahbar dan Wahb bin Munabbih. (mubahis).

Adapun dalam pembahasan lain Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushulut-Tafsir Israiliyyat itu terbagi menjadi tiga macam. Pertama, cerita israiliyat yang shahih, itu boleh diterima. Kedua, Israiliyyat yang dusta yang kita ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu harus ditolak. Ketiga, Israiliyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya itu didiamkan: tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya.Pada Jumhur ulama tentang Israiliyat, Pertama mereka dapat menerima Israilyat selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Kedua, mereka tidak menerima selagi kisah Israiliyat tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Ketiga, tawaqquf atau mendiamkan. Mereka tidak menolak dan tidak membenarkannya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut.

D. Pengaruh Isra’iliyyat Terhadap Penafsiran Al-qur’an

Isro’iliyat digunakan dalam penafsiran, dikarenakan ada kesamaan antara Al-Qur’an dengan Taurat dan Injil dalam sejumlah masalah, khusunya mengenai kisa-kisah tentang umat dahulu yang biasanya diungkapkan secara ringkas (Ijaz) dalam Al-Qur’an tetapi dalam kitab-kitab sebelumnya dibahas secara panjang lebar.

Pada generasi para sahabat, Isro’iliyat ini merupakan salah satu rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hanya saja mereka beranggapan bahwa hal tersebut merupakan suatu kebolehan saja dan bukan keharusan. Tetapi pada masa Tabi’in, penafsiran Al-Qur’an dengan Isro’iliyat ini menjadi sesuatu yang sangat penting, hal tersebut disebabkan semakin banyaknya Ahlul kitab yang masuk Islam dan kecenderungan manusia untuk mengetahui segala hal (khusunya tentang kisah-kisah umat terdahulu) yang diringkas dalam Al-Qur’an secara panjang lebar. Dan keinginan tersebut hanya dapat dipenuhi dengan mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang Yahudi dan Nashroni. Lambat laun pengaruh Isro’iliyat itu sangat besar dalam penafsiran Al-Qur’an sehingga hampir semua kitab Tafsir memuatnya.

Sehingga bagaimana menyikapi tentang Isro’iliyat dalam penafsiran Al-Qur’an, Ibnu Taimiyyah berkata: Isro’iliyat itu terbagi tiga: Pertama: Cerita yang kita ketahui kebenarannya dari apa yang kita miliki (Al-Qur’an dan As-sunah) yang menyatakan akan kebenaran hal tersebut, maka Isro’iliyat itu adalah benar. Dan dalam hal ini kita hanya mempergunakan riwayat Isro’iliyat tersebut hanya sebagai pembanding saja bukan sebagi rujukan utama. Kedua: Cerita yang kita ketahui bahwa hal tersebut adalah dusta semata berdasarkan Al-Qur’an (bertentangan dengan apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an). Isro’iliyat yang semacam ini harus dibuang dan tidak boleh dipergunakan sebagai rujukan dalam penafsiran. Ketiga: Isro’iliyat yang tidak termasuk kelompok pertama maupun kedua, maka tidak boleh mengimaninya maupun mendustakannya, namun diperbolehkan untuk menceritakannya. Biasanya Isro’iliyat tersebut tidak berkaitan dengan permasalahan agama.

Dengan demikian jelaslah bahwa kebolehan penggunaan Isro’iliyat hanya terbatas kepada hal-hal yang tidak berkaitan dengan permasalahan agama. Oleh karena itu, Isro’iliyat tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum meskipun riwayat tersebut adalah shohih.

Adapun dalam pembahasan lain Pengaruh Israiliyat dibagi dua yaitu:

Israiliyat adalah kisah atau peristiwa yang diriwayatkan oleh ahli kitab, yang meliputi :

1) Kisah atau dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi, Nasrani dan lain-lain.

2) Sebagian ahli tafsir dan hadis memperluas lagi pengertian israiliyat ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.


Post a Comment

0 Comments