HAM
DAN DEMOKRASI DALAM DUNIA ISLAM
A.
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
1.
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Istilah
hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah drots de I’homme dalam
bahasa Prancis, yang berarti, hak manusia, atau dalam bahasa Inggrisnya, human
right. Dalam bahasa Belanda, disebut menselijke rechten.8
Sedangkan
al-Quran, di mana lebih dari 1400 tahun yang lalu diwahyukan Allah swt kepada
seluruh umat manusia melalui rasul dan utusannya, Nabi Muhammad saw, merupakan pencerminan
nilai-nilai asasi bagi manusia.9
Hak
asasi manusia (HAM) menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.10
Apabila
kita memperhatikan di negara kita sendiri, pengakuan dan jaminan perlindungan
terhadap hak azasi manusia, ternyata telah cukup banyak diberikan, baik yang
ditemukan dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk
jelasnya dapat dirinci seperti terlihat di bawah ini :
1.
Pancasila.
Menurut
Franz Magnis Suseno, “Sebenarnya hak azasi manusia merupakan pengejawantahan
seluruh Pancasila. Masalah hak Azasi manusia dapat dipahami sebagai
operasionalisasi Pancasila.”
2.
Undang-Undang Dasar 1945, sebagian landasan Konstitusional.
3.
Ketetapan MPR Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia.
4.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1998 tentang Hak Azasi Manusia.
5. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia.
6.
Peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Undang-Undang tentang Pemilu
c. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPRD.
d. Undang-Undang tentang Kepartaian
e. Undang-Undang tentang Pokok Pers
Di
samping itu, negara kita telah meratifikasi beberapa konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Azasi Manusia, antara lain :
1.
International Convention on the Elimination of All Forms Racial Discrimination
(1965)
2. International Convention on the
Suppression and Punishmentof the Crime of Apartheid (1973)
3.
ILO Convention concerning Equal Remuneration for Men and Women Workes for Work
of Equal Value (1951)
4.
ILO Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Accupation (1958)
5.
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948)
6.
Convention on the Non- Applicability of Statutory Lemitation to War Crimes
Againts Humanity (1968)
7.
Protocol Amending the Slavery Convention (1953)
8.
Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and
Instution and Practices Similar to Slavery (1956)
9.
Convention for the Suppression of the Traffic on Persons and of the
Exploitation of Others (1950)
10.
ILO Convention Concerning Forced Laboer (1030)
11.
ILO Convention Concerning the Application of the Principles of the Right to
Organize (1949)
12.
Convention of the Political Right of Women (1952)
13.
Convention of the Elimination Alls Forms Discrimination Against Woment (CEDAW)
(1979)
14.
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick
in Armed Forces en the Field (1949)
15.
Geneva Convention for the Ameliorationof the Condition of the Wounded and Sick
in Shipwreked Members of Armed Forces at Sea (1949)
16.
Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War (1949)
Pada
tahun 1990 telah diratifikasi pula konvensi tentang Hak-hak Anak dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Tidak sebagaimana lazimnya, konvensi
tentang hak-hak anak ini tidak diratifikasi dengan suatu undang-undang, tetapi,
hanya diratifikasi dengan keppres. Mengingat suatu konvensi yang telah
diratifikasi akan berlaku secara umum dan mengikat setiap warga negara, maka
ratifikasi setiap konvensi sebaiknya dilakukan dengan suatu undang-undang.
Konvensi-konvensi tersebut di atas
diratifikasi sebelum dideklarasikan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Azazi Manusia
Indonesia 1998-2003, pada 25 juni 1998.
Untuk
selanjutnya, dalam Program Kegiatan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Azazi Manusia
Indonesia 1998-2003, pada 25 Juni 1998, akan diratifikasi secara bertahap
beberapa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Azazi Manusia, yaitu,
Tahun
Pertama:
i. Konvensi
tentang Hak-hak Ekonomi, Politik, dan Budaya,
ii. Konvensi
tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, tidak manusiawai
atau merendahkan,
iii. Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Tahun
Kedua:
i.
Konvensi
Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocida,
ii.
Konvensi
Perbudakan.
Tahun
Ketiga:
Konvensi
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota-Anggota Keluarga.
Tahun
Keempat:
Konvensi
Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi, dan Tahun Kelima,
Konvensi Hak–hak Sipil dan Politik.
Saat
ini, di Indonesia telah ada Komite Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM),
yaitu suatu badan independen yang bertugas memantau pelaksanaan hak azasi
manusia di Indonesia. Semua itu bertujuan untuk kemajuan dan perlindungan
hak-hak azasi manusia Indonesia.
Walaupun
demikian, di mana-mana masih saja terjadi pelanggaran terhadap hak azási
manusia, seperti di Aceh, Maluku, Timor-Timur, Sampit, Poso dan lain-lain.
Isu-isu
mengenai hak azasi manusia yang menonjol akhir-akhir ini, pada umumnya
berkaitan dengan :
1. Hak
kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
2. Hak
kebebasan beragama.
3. Hak
kebebasan dari rasa takut.
4. Hak
kebebasan dari kemelaratan.
Sedangkan
kelompok yang paling rawan dalam persoalan pelanggaran hak azasi manusia,
antara lain adalah, kelompok wanita, kelompok anak-anak dan kelompok buruh.
Kelompok-kelompok ini harus mendapat perhatian yang paling besar, dalam upaya
perlindungan terhadap hak azasi manusia.11
2.
Demokrasi
Demokrasi
menurut makna katanya berasal dari ‘demos’ yang berarti, pemerintahan,12
sehingga dapat disimpulkan, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan negara
di mana segenap rakyat memerintah dengan perantara wakil-wakilnya.
Ketika
Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal di Gettysburg pada
tahun 1863, ia secara sederhana menggambarkan demokrasi sebagai pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people by the
people and for the people ). Tetapi, kalau diteliti lebih mendalam, inti dari
demokrasi adalah pemerintahan “oleh rakyat,” karena semua pemerintahan, apapun
bentuknya, pasti berasal dari rakyat, dan karena sebuah pemerintahan otoriter
bisa juga berbuat baik untuk kepentingan rakyat (benevolent authoritarian
regime). Jadi, hanya pemerintahan oleh rakyatlah yang murni mencerminkan
demokrasi.13
Muhammad
Yamin menafsirkan demokrasi itu sebagai “dasar pembentukan pemerintahan dan
masyarakat yang di dalamnya kekuasaan memerintah atau mengatur dipegang secara
sah hanya dilaksanakan oleh segala anggota masyarakat”.14
Ada
dua model15 demokrasi yang dikenal di dunia. Pertama, demokrasi langsung, yaitu
merupakan bentuk pemerintahan yang dalam membentuk keputusan-keputusan politik
dilakukan seluruh warga masyarakat berdasarkan suara terbanyak. Kedua,
demokrasi tidak langsung, di mana bentuk pemerintahan dalam membuat keputusan
politik diwakilkan kepada wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
Ibn
Taimiyyah, seorang pemikir besar Islam tentang pemerintahan, lebih cenderung
lepada bentuk pemerintahan demokratis. Pendapatnya ini dapat disimpulkan dari
penolakan Ibn Taimiyyah terhadap sistem khalifah dan juga terhadap model
Syi’ah. Hanya saja, demokrasi yang dikehendaki Ibn Taimiyyah adalah demokrasi
konstitusional yang berlandaskan nilai-nilai syariah. Model ini dipilih Ibn
Taimiyyah karena dengan bentuk seperti itu negara dapat merealisasikan
nilai-nilai keadilan. Sebab, tujuan para rasul dan nabi tidak lain adalah untuk
menciptakan keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia.16
Setiap
pribadi dalam wilayah kekuasaan Islam memiliki kebebasan berfikir atau
berpendapat, kebebasan bertindak di segala bidang, sepanjang tidak bertentangan
dengan undag-undang yang berlaku. Setiap orang bebas menentukan sikap dan
mengemukakan pendapatnya terhadap siapa pun. Setiap orang bebas membantah
pendapat siapa pun tanpa rasa takut dengan argumentasi ilmiah dan akhlak
karimah. Lebih lagi terhadap keyakinan agama, merupakan hak asasi manusia
setiap pribadi. Setiap pemerintahan Islam harus memprioritaskan menjamin
kebebasan setiap pribadi tanpa dapat diganggu gugat, kecuali dalam kebejatan
moral yang memang bertentangan dan tidak sesuai dengan seluruh keyakinan agama.
Dalam pemerintahan Islam, tidak ada keyakinan agama seseorang dapat dipaksa
atau dicegah.
B.
Presentasi tentang Kekejaman Hukum Islam
1.
Hukum Pidana Islam yang Dinilai Kejam
Kritik
terhadap hukuman dalam Islam bisa juga disebabkan karena tidak disadarinya
alasan spiritual dari hukuman itu. Hukuman tidaklah dijatuhkan secara kejam
oleh seseorang pada orang lain, melainkan suatu pelaksanaan dari ketentuan
Allah terhadap hamba-hambaNya. Ketaatan kepada hukum Allah adalah karakter
dasar bagi masyarakat Muslim yang benar.
Salah
satu persoalan yang selalu dibahas oleh para ahli hukum pidana adalah masalah
pidana atau hukuman. Sebelum membahas hal-hal di atas, terlebih dahulu akan
dipaparkan bagaimana tuduhan-tuduhan terhadap hukuman dalam sistem pidana Islam
yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi dan
barbarian.
Dalam
sistem ini misalnya dikenal hukuman mati. Persoalan yang sering berkaitan
dengan hukuman mati ini adalah karena sering kali bentuk-bentuk hukuman
tersebut hanya dilihat dari satu sisi saja. Yaitu, sisi kemanusiaan menurut
standar abad 20 yang dianggap paling beradab, dan tidak pernah dilihat alasan,
maksud, tujuan dan keefektifan hukuman-hukuman tersebut.
Berkaitan
dengan teori pemidanaan ini dikenal adanya beberapa tujuan pemidanaan, yaitu
retribution (pembalasan), deterence (pencegahan) dan reformation (perbaikan).
Banyak penulis menyatakan, satu-satunya tujuan pemidanaan dalam hukum-hukum
pidana Islam adalah untuk pembalasan semata. Pada kenyataannya, hal tersebut
tidaklah benar. Dalam Hukum Pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai
pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus) serta
perbaikan. Dalam kenyataannya, juga berfungsi melindungi masyarakat dari
tindakan jahat serta pelanggaran hukum (fungsi perlindungan).17
Hukuman
dalam Islam memiliki landasan yang sangat kokoh, yaitu al-Qur’an dan Sunah Nabi
saw, dan bukan berdasarkan dugaan-dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang
dirasa adil. Dari sisi kepastian hukum juga jelas, karena manusia dilarang
mengubah hukuman yang diancamkan. Jadi, untuk tindak pidana yang diberi ancaman
hukuman h}add tidak boleh ada perubahan -perbuatan yang dilarang misalnya-,
tetap menjadi sesuatu yang diharamkan sampai kapan pun. Bandingkan dengan
sistem hukum yang berlaku di negara-negara Barat yang bahkan untuk merbuatan
yang sangat kotor, seperti zina, dapat dilakukan dekriminalisasi.
Selain itu, dalam Hukum Pidana Islam, juga
dikenal ‘afwan atau pemaafan bagi tindak pidana qis}a>s}, seperti pembunuhan
atau penganiayaan, jika pihak korban atau keluarga korban mau memaafkan. Sistem
ini juga sangat memperhatikan aspek pencegahan, pendidikan dan perlindungan
bagi masyarakat serta perbaikan bagi si pelaku.
Dikatakan
oleh Shiddiqi, hukuman yang ditentukan oleh syariah hanya dilaksanakan oleh
suatu negara Islam. Hukuman ini merupakan bagian dari sistem Islam. Dalam
sistem seperti ini, negara melakukan distribusi kekayaan dengan baik, yang
bertanggung jawab untuk menolong setiap warga negara, tidak peduli latar
belakang suku, ras, bahasa, warna kulit atau status sosialnya. Negara juga
bertanggung jawab menjamin pekerjaan yang baik bagi warganya. Jika pekerjaan
itu tidak tersedia atau jika ada seseorang yang tidak mampu bekerja harus
diberikan kepadanya harta dari Baitul Mal atau rumah harta negara.
Menolong
warga negara juga termasuk menghindarkan mereka dari perbuatan terlarang,
misalnya dengan melarang sarana-sarana yang mendorong terjadinya berbagai
kejahatan. Termasuk di dalamnya larangan tempat-tempat prostitusi, larangan
minuman keras, larangan menyendiri dengan orang lain yang bukan muhrimnya,
larangan tontonan yang membangkitkan nafsu seksual. Sebaliknya, dilakukan
usaha-usaha mendorong warga negara agar dapat menjalankan ajaran agamanya
dengan baik, seperti sholat, puasa, zakat, ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya.18
2.
Penggolongan Hukuman
Hukuman
dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Pertama, didasarkan atas pertalian satu
hukuman dengan hukuman lainnya. Dalam hal ini ada empat jenis hukuman :
a.
Hukuman pokok (’uqu>bah as}liyyah), misalnya hukuman qis}a>s} untuk
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan.
b.
Hukuman pengganti (’uqu>bah badaliyyah), merupakan pengganti hukuman pokok
yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah. Seperti hukuman diyat
sebagai pengganti hukuman qis}a>s}, atau hukuman ta’zi>r sebagai
pengganti hukuman h}add atau qishash yang tidak dilaksanakan. Sebenarnya,
hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman pokok untuk pembunuhan semi sengaja
(menyerupai sengaja), demikian pula hukuman ta’zi>r merupakan hukuman pokok
untuk tindak pidana ta’zi>r.
c.
Hukuman tambahan (’uqu>bah taba’iyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Seperti larangan menerima warisan
bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarganya sebagai tambahan hukuman
qis}a>s}, atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi orang yang
melakukan tindak pidana qadhaf (memfitnah orang lain berzina).
d.
Hukuman pelengkap (’uqu>bah takmiliyyah), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.19
3.
Pembunuhan
Tidak
diragukan lagi bahwa tindak kejahatan yang paling menakutkan bagi manusia
adalah pembunuhan. Tindakan pembunuhan diancam pidana berat oleh semua sistem
hukum sejak awal sejarah manusia hingga saat ini. Ancaman pidana bagi tindak pidana
ini dalam Hukum Pidana Islam dikenal sebagai qis}a>s}, yaitu pembalasan bagi
pelaku seimbang dengan luka yang diderita korban.
Dalam
mengkaji hukum qis}a>s} ini, hal yang paling penting adalah klasifikasi
pembunuhan itu sendiri. Yaitu, apakah pembunuhan merupakan bagian dari hukum
publik di mana negara harus intervensi atau ambil bagian dalam penuntutannya.
Ataukah, merupakan bagian dari kesalahan perdata atau tort, di mana
pemulihannya dikembalikan kepada orang yang terkena perbuatan itu, apakah ia akan
menuntutnya atau tidak.
Tepat
yang diberikan oleh Islam bagi kehendak dan keinginan individu dalam konteks
qis}a>s} ini membedakan perlakuan Islam terhadap pembunuhan dari perlakuan
sistem lain. Dalam Hukum Islam, pembunuhan terlihat sebagai kesalahan privat
dan pemulihannya menjadi urusan sang korban atau keluarganya. Tetapi,
penelitian yang lebih jeli akan membawa kesimpulan yang berbeda.
Dalam
fiqih, tindak pidana pembunuhan (al-qatl) ini disebut dengan al-jina>yah
ila> al-insa>niyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia). Sebutan ini sama
dengan pengertian pembunuhan dalam hukum positif. Dalam KUHP Indonesia sendiri,
tindak pidana ini dimasukkan dalam Bab XIX tentang Kejahatan terhadap Nyawa.20
Dalam hal ini diambil contoh tentang pembunuhan sengaja.
Suatu
pembunuhan baru dapat dikatakan pembunuhan sengaja di dalam Islam jika memenuhi
tiga unsur. Yaitu (1) yang dibunuh adalah manusia yang diharamkan Allah untuk
membunuhnya, (2) perbuatan itu membawa kematian, dan (3) bertujuan untuk
menghilangkan nyawa seseorang.
Para
ulama fikih mengemukakan bahwa ada beberapa bentuk hukuman yang dikenakan
kepada pelaku tindak pidana ini, yaitu:
a.
Hukuman asli, yaitu hukum qis}a>s}. Hukuman ini didasarkan pada ketentuan
Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 178, yang artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qis}a>s} berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh,” Juga dalam QS. al-Ma>idah (5): 45, yang artinya: “Dan telah Kami
tetapkan kepada mereka di dalamnya (taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan
jiwa.”21 juga, dalam hadis Nabi juga ditemui perintah, “Siapa yang membunuh
dengan sengaja, maka dibalas dengan membunuh (pelaku)nya.” (HR. Abu>
Da>wu>d dan al-Nasa>iy dari ’Abdulla>h ibn ’Abba>s).
Hukuman
qis}a>s} tidak dijatuhkan apabila dimaafkan oleh ahli waris. Para ahli waris
menurut kesepakatan ahli fikih, boleh memaafkan pembunuh dengan cara tidak
melaksanakan hukuman qis}a>s}. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat QS. al-Baqarah (2): 178 yang artinya: ”Maka barang siapa yang mendapatkan
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula).”22 Kemudian dalam QS. al-Ma>idah
(5): 46 yang artinya, ”....dan luka-luka (pun) ada qis}a>s}-nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya...”23 Sedangkan dalam sunnah
ada riwayat ”Sepengetahuan saya setiap ada perkara qis}a>s} dilaporkan
kepada Rasulullah Saw, senantiasa dianjurkan untuk dimaafkan” (HR. Anas ibn
Ma>lik).24
Aturan
tentang pemaafan ini tidak ada dalam hukum positif. Aturan ini juga menepis
anggapan bahwa hukuman dalam Pidana Islam hanya bertujuan untuk pembalasan
semata.
b.
Hukuman pengganti. Menurut ulama fiqih, apabila hukuman qis}a>s} gugur
(misalnya karena dimaafkan atau karena ada perdamaian), maka ada dua hukuman
pengganti. Yaitu, diyat yang ditanggung sendiri oleh pembunuh dan hukuman
ta’zi>r.
c.
Hukuman pelengkap. Selain hukuman-hukuman di atas dalam pembunuhan sengaja juga
ada hukuman lainnya. Yaitu, terhalangnya hak waris dan terhalang mendapat
wasiat dari korban.25
C.
Situasi HAM dan Demokrasi dalam Dunia Islam
1.
Dunia Islam Memiliki Ciri Tersendiri
Dengan
semakin rapatnya hubungan satu negara dengan negara lain di dunia ini,
orang-orang di berbagai belahan bumi semakin merasa perlu untuk saling memahami
budaya, sistem kehidupan, termasuk hukum dari bangsa-bangsa lain. Sehingga di
Barat orang mempelajari berbagai aspek dari Hukum Islam, tidak terkecuali hukum
pidananya.
Pada hakekatnya negara hukum tidak akan
berfungsi sebagaimana mestinya jika tidak ada demokrasi. Sebaliknya, demokrasi
tidak akan berfungsi selama HAM terus menerus diperkosa. Demokrasi tidak akan
terwujud jika hukum tidak dihormati. Demikian pula jika mekanisme demokrasi
dimatikan, hukum dan HAM akan dilecehkan.26
Kemunculan
kembali negara-negara Islam dan negara-negara Muslim di antara masyarakat
bangsa-bangsa di dunia dan ketaatan dari beberapa negara kepada Hukum Islam
sebagai dasar dari sistem hukum mereka menegaskan pentingnya memahami
nilai-nilai dan atribut-atribut dari Islam dan Hukum Islam.
Negara
Muslim yaitu negara di mana mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin atau
pemerintahnya mewakili mayoritas umat Islam. Negara Islam merujuk pada suatu
bentuk pemerintahan di mana seluruh perlakuan dari seluruh aspek usaha manusia
dan hukum menjadi subjek Hukum Islam, yaitu syariah.
Dunia
Islam mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Seperti dunia Barat, dunia
Islam juga memperlihatkan keragaman dan tidak homogen. Dalam arti, setiap
negara dari Aljazair hingga Indonesia mempunyai perbedaan yang amat mendasar,
meski mayoritas penduduknya beragama Islam. Ternyata, komunalitas agama tidak
dengan sendirinya berarti komunalitas sosial dan tradisi politik, sebagaimana
masyarakat dan realitas sosialnya berbeda, juga tradisi-tradisinya.
Aljazair
misalnya, merupakan negara modern yang westernized. Oleh karena itu, mengalami guncangan
hebat saat sebagian warganya menginginkan ”negara Islam” versi mereka.
Sementara itu, negara-negara lain seperti Indonesia, Malaysia dengan mayoritas
penduduknya Muslim memilih menjadi negara sekuler. Tampaknya perjuangan
kelompok-kelompok Islam untuk membentuk Negara Islam tidak berhasil. Kedua
negara itu mengambil pemerintahan yang cocok untuk masyarakat pluralitas.
Kendati penduduknya mayoritas Muslim, kedua negara itu mempunyai karakter
pluralis dan karena itu memilih karakter sekuler.27
Dan
yang sangat menarik bahwa dari masing-masing negara Islam di dunia, tidak ada
yang mengeluhkan soal penerapan Hukum Islam karena perbedaan budaya, sosial
ataupun yang lainnya. Tetapi, Hukum Islam bisa berjalan secara siknifikan,
walaupun ada perbedaan-perbedaan dari masing-masing negara tersebut. Hukum
Islam sangat fleksibel. Artinya, tidak kaku seperti yang dibayangkan
orang-orang yang kurang memahami Hukum Islam. Hukum Islam bisa berdiri di
manapun ia berada, walaupun dalam masyarakat yang memiliki perbedaan budaya,
sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana maklum bahwa di dalam salah satu
kaidah fikih disebutkan ”Hukum-hukum itu dapat berubah sesuai dengan zaman,
tempat dan keadaan”.28 Dengan demikian, hakekat Hukum Islam tersebut dapat
berubah dalam kondisi dan situasi tertentu. Tetapi, hakekatnya tidak
berbenturan dengan hukum asal, yaitu al-Qur’an dan Hadis.
2.
HAM dalam Dunia Islam
Berhubung
hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa hak asasi
manusia tersebut tidaklah bersumber dari negara dan hukum, tetapi, semata-mata
bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga hak
asasi manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu,
yang diperlukan dari negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan
perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.
Salah
satu kendala bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat
beragama yang sedang mengalami modernisasi adalah keraguan dalam menyikapi
hubungan antara agama dan sekulerisme. Hingga kini keduanya dipahami sebagai
domain yang berbeda, bahkan, berbenturan satu dengan yang lain.29
Yang
perlu diingat, sebagian besar penduduk dunia adalah umat beragama. Karena itu,
keengganan untuk melibatkan prespektif agama sebagai fondasi HAM bukan berarti
hanya hilangnya dukungan politik komunitas-komunitas beragama. Akan tetapi,
juga bisa menjebak melakukan perlawanan terhadap sebagian hak-hak universal tersebut.30
Negara-negara
Muslim sering menjadi sasaran atas pelanggaran-pelanggaran HAM, karena banyak
yang menilai bahwa hukum atau undang-undang yang mereka terapkan banyak yang
membunuh terhadap hak-hak seseorang. Seperti pemerintah yang diterapkan oleh Taliban
yang ada di Afganistan, di mana―misalnya―kaum perempuan tidak boleh keluar
rumah dan bersekolah tanpa didampingi muhrimnya. Penerapan ini sangat ditentang
oleh banyak negara, terutama Eropa. Akibatnya kemudian, pemerintah Taliban
dihantam habis oleh Amerika dengan dalih menghilangkan pemerintah yang
diktator, hingga akhirnya pemerintah Taliban sudah tinggal cerita. Dalam
penerapannya, dinilai sangat diktator dan kaku (dalam presepsi Barat), sehingga
dunia Barat memberikan pencerminan bahwa Hukum Islam seakan-akan seperti itu.
Padahal,
jika dikaji secara mendalam, maka akan kita temukan bahwa pengertian penerapan
konteks tentang HAM antara tiap-tiap negara pasti memiliki perbedaan yang amat
tajam. Tidak terkecuali pemaknaan antara negara Barat dengan Timur juga
demikian. Sebab, masing-masing mempunyai perbedaan kultur yang amat tajam.
Orang Timur Tengah tidak bisa dipaksakan harus hidup layaknya orang Hawai, yang
selalu terkenal dengan bikini dan tariannya. Demikian juga orang Barat tidak
bisa dipaksakan hidup dengan selalu berjubah layaknya orang Arab.
Di
negara Barat yang dikenal pelopor, bahkan sering memaksakan HAM terhadap
negara-negara lain, bukan berarti bersih dari pelanggaran HAM. Misalnya saja
Perancis yang baru saja telah melarang warganya untuk memakai jilbab. Bukankah
ini suatu pembunuhan terhadap hak seseorang. Demikian juga dengan Amerika yang
sampai saat ini juga masih sering memarjinalkan orang-orang kulit hitam dan
lain sebagainya, sehingga suatu kebohongan besar jika suatu negara sudah
terbebas dari pelanggaran HAM.
Hukum
Islam sangat menjunjung tinggi HAM, ini bisa dipelajari mulai dari hukum
pidana, perdata, ataupun yang lainnya. Perbedaan masing-masing negara dengan
penerapan hukum memang disesuaikan dengan faktor kondisi dan situasi negara
tersebut.
Islam
secara keras melarang total terhadap pembunuhan, pencurian, perampokan,
penipuan, pemalsuan, riba, perjudian dan lain-lain. Karena apapun yang
diperoleh manusia melalui cara-cara ini sebenarnya diperoleh dengan menyebabkan
kehilangan dan penderitaan orang lain. Segala macam bisnis yang mengeksploitasi
orang lain dan hanya satu pihak saja yang rugi juga dilarang. Begitu juga
dengan monopoli, penimbunan dan sebagainya. Perzinaan dan hubungan seksual yang
tidak wajar dilarang keras dalam Islam, karena semua itu tidak hanya merusak
moral dan kesehatan dari pelakunya, tetapi juga menyebabkan berbagai penyakit
berbahaya (antara lain AIDS), membahayakan kesehatan dan moral bagi masyarakat
dan generasi yang akan datang, merusak hubungan manusia satu dengan yang lain
dan menceraiberaikan susunan dan struktur budaya dan sosial masyarakat. Islam
ingin menghilangkan akar dan cabang kejahatan yang sangat buruk seperti itu.
3.
Demokrasi dalam Dunia Islam
Hubungan
antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan menarik dan masih
belum tuntas.31 Tuntutan terhadap demokrasi makin marak dalam ranah global
dewasa ini. Dalam konteks Islam, kecenderungan yang disebut Huntington sebagai
”gelombang demokratisasi ke tiga” (the third wave) ini memunculkan pertanyaan
sendiri. Sebab, pada saat hampir seluruh dunia ketiga mengalami perkembangan
demokrasi, negara-negara di dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda ke
arah itu.
Para
sarjana Muslim telah mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam dan
demokrasi, dan secara ringkas terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam dan
demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda. Sebagai sistem
politik, Islam tidak bisa disubordinasikan pada demokrasi. Islam dan demokrasi
bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem
politik yang sempurna, sehingga bisa dijadikan alternatif terhadap demokrasi.
Kedua,
Islam berbeda dari demokrasi, apabila yang terakhir didefinisikan secara
prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di Barat. Namun demikian,
menurut para pendukung pendapat ini, Islam dapat dipandang sebagai sistem
politik demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni
demokrasi dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tidak dikenalnya
pemikiran atau ide ”warga ikut dalam kebijakan politik”.32
Bagi
sebagian kalangan, terutama dalam lingkungan akademisi dan media barat, wacana
mutakhir tentang Islam memunculkan keraguan serius kompatibilitas Islam dan
demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakan adalah kaum revivalis Muslim punya
kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. Akibatnya,
negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam membentuk politik yang
demokratis.33
Berdasarkan
data indeks, kebebasan Freedom House yang dikeluarkan Desember 2001, dapat
ditemukan adanya jurang pemisah yang cukup dramatis antara negara-negara yang
mayoritas penduduknya Muslim dan negara-negara non Muslim. Penelitian bertajuk
Freedom in The World 2001-2002 itu menyimpulkan, negara non Muslim tiga kali
lebih demokratis dibandingkan dengan negara Muslim.
Dalam
survei tahunan Freedom House, ditemukan bahwa kecenderungan kebebasan dan
demokrasi di dunia Islam, terutama di negara-negara Arab, mengalami devisit.
Hanya ada satu negara yang masuk kategori ”bebas”, yaitu Mali di benua Afrika.
Sebanyak 18 negara masuk rangking ”sebagian bebas” dan 28 negara dianggap
”tidak bebas”. Indonesia termasuk kategori ”sebagian bebas,” sebaliknya, di
dunia non Muslim, 85 negara tergolong ”bebas,” 40 negara ”sebagian bebas” dan
20 negara”tidak bebas.”
Kenyataan
ini dengan mudah menggiring para pengamat melompat pada kesimpulan bahwa Islam
merupakan faktor yang paling bertanggung jawab atas tidak bekerjanya demokrasi
di dunia Islam.34
Sebenarnya,
ditilik secara doktrinal, tidak ada teks-teks keagamaan yang bisa ditafsirkan
sebagai justifikasi sikap sewenang-wenang dan otoritarian. Semua indikator yang
disebut demokratik dalam masyarakat poliarkis, seperti diyatakan oleh pakar
demokrasi Robert Dahl (1989), bukan saja Islam, bahkan, agama Islamlah yang
memperkenalkannya secara deskriptif keagamaan. Al-Qur’an menjadikan musyawarah
yang melibatkan publik secara kolektif (shu>ra>) sebagai kewajiban
keagamaan.35
Meskipun
kedaulatan mutlak dan tidak tertandingi berada di tangan Allah serta
menyerahkan otoritas negara Islam kepada manusia dengan tidak boleh menggunakan
otoritas yang dimilikinya kecuali di bawah rambu-rambu hukum yang telah
diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Seorang individu bukan berarti tidak
mempunyai wewenang sama sekali dalam wilayah hukum. Mereka memiliki wewenang
yang besar untuk menjalankan kekuasaan dan melakukan perubahan serta
menciptakan sebuah hukum berdasarkan tuntutan-tuntutan keadaan, konsensus
publik atau ijma’ sebagai sebuah sumber hukum memberikan komunitas Muslim
sebuah kedaulatan politik ”dalam kewenangan mereka sendiri”.36
Berkaitan
dengan masalah di atas, Nourouzzaman Shiddiqi telah membuat ringkasan Piagam
Madinah sebagai berikut.37
1.
Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau asal
segi keturunan, budaya maupun agama yang dianut, tali pengikat persatuan adalah
politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama (Pasal 17, 23 dan 42).
2.
Masyarakat pendukung yang semula terpecah belah dikelompokkan dalam kategori
Muslim dan non Muslim. Tali pengikat sesama Muslim adalah persaudaraan seagama
(Pasal 15). Di antara mereka harus tertanam rasa solidaritas yang tinggi (Pasal
14, 19 dan 21).
3.
Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadah bagi orang-orang non
Muslim, khususnya Yahudi (Pasal 25-30).
4.
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib
saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (Pasal16).
Orang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11).
5.
Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (Pasal 24, 36, 37, 38
dan 44).
6.
Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 34, 40
dan 46).
7.
Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran
tetap diberlakukan (Pasal 2 dan 100).
8.
Hukum harus ditegakkan. Siapa pun tidak boleh melindungi kajahatan apabila
berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan
kebenaran, siapa pun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (Pasal
13, 22 dan 43).
9.
Perdamaian adalah tujuan utama. Namun, dalam mengusahakan perdamaian tidak
boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran (Pasal 45).
10.
Hak setiap orang harus dihormati (Pasal 12).
11.
Pengakuan terhadap hak milik individu (Pasal 24 dan 47).
4.
Hak Asasi Manusia yang Terkesan Dipaksakan
Sesudah
perang dingin arus gelombang hak asasi manusia semakin melanda seantero dunia.
Bahkan, kadang-kadang negara-negara Barat terkesan ingin melaksanakan penerapan
konsep hak asasi manusia menurut pandangan mereka terhadap negara-negara lain,
tanpa memperhatikan keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem,
politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi serta faktor-faktor lain yang
dimiliki bangsa yang bersangkutan. Jadi tidak mungkin konsep hak asasi manusia
menurut pendangan Barat dipaksakan berlaku bagi negara lain, karena pemaksaan
tersebut justru merupakan pelanggaran terhadap hak Asasi manusia itu sendiri.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini, dua pasal dari Universal Declaration of Human
Right, yaitu sebagai berikut :
1)
Pasal 16 ayat 1 menyebutkan, seorang laki-laki dan seorang wanita bebas
melakukan perkawinan, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa dan agama.
2)
Pasal 18 menyebutkan, setiap orang bebas untuk memeluk dan keluar dari suatu
agama.
Penerapan
kedua pasal ini bagi masyarakat yang beragama Islam tanpa memperhatikan
nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya akan bisa menimbulkan masalah, karena
menurut keyakinan sebagian umat Islam seorang Muslim dilarang kawin dengan
seorang non Muslim. Juga, perbuatan keluar dari agama Islam adalah murtad, dan
merupakan dosa besar, di mana pelakunya halal untuk dibunuh.
Masalah
sebenarnya sampai sekarang masih menimbulkan polemik di kalangan umat Islam
sendiri. Di antara negara-negara Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat
dalam menyikapi kedua pasal tersebut. Ada yang menolak, seperti Saudi Arabia.
Akan tetapi, mayoritas negara-negara Islam menerimanya, seperti Pakistan,
Afganistan dan lain-lain. Oleh karena itu, yang penting bagi penerapan hak
asasi manusia di suatu negara, harus memperhatikan sepenuhnya situasi dan
kondisi negara yang bersangkutan.
Isu-isu
mengenai hak asasi manusia dewasa ini bukan lagi berkisar masalah pengakuan dan
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Karena hampir di semua negara,
baik dalam konstitusinya, maupun dalam peraturan perundang-undangan, telah
diberikan pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Di
samping itu, juga telah ada beberapa konvensi perserikatan bangsa-bangsa
tentang hak asasi manusia. Masalahnya sekarang tertuju pada isu-isu penegakan
dan pemajuan hak asasi manusia itu sendiri.
PENUTUP
Dari
paparan di atas dapat dijelaskan beberapa hal penting. Pertama, dalam Hukum
Islam, terkandung nilai alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman-hukuman
tersebut. Hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang pada orang
lain tanpa adanya dasar tersebut. Hukuman dalam Islam memiliki landasan yang
sangat kokoh, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi saw. juga, bukan berdasarkan
dugaan-dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil. Ini menunjukkan
kepastian hukum juga jelas dalam Hukum Islam.
Kedua,
dunia Islam memiliki ciri khas dan keunikan sendiri. Masing-masing negara
Muslim memiliki perbedaan dalam penerapan Hukum Islam, meskipun begitu, dengan
tujuan yang sama, yakni penegakan HAM. Negara Islam merujuk pada suatu bentuk
pemerintahan di mana seluruh perlakuan dari seluruh aspek usaha manusia dan
hukum menjadi subjek Hukum Islam, yaitu syariah. Kegagalan negara-negara di
dunia Islam untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis, karena kaum
revivalis Muslim punya kelemahan dalam komitmen mereka terhadap pluralisme
demokrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1989.
Jeje
Abdul Rojak, Politik Kenegaraan, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1999.
Johnny
Ibrahim, Hak Azasi Manusia dan Demokrasi, Surabaya, Tesis-Universias Putra
Bangsa, 2004.
Zuman
Malaka Al-Qānūn, Vol. 12, No. 2, Desember 2009 381
Manovehehr
Paydar, Legitimasi Negara Islam, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2003.
Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqiyah, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1997.
Muhammad
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan, Jakarta, PT. Yasnif Wampoene, 1997.
Mun’im
A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi, Bekasi, Gugus Pres, 2002.
Ramdlon
Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta, Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, 1983.
Rozali
Abdullah dan Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, 2001.
Sulaiman
ibn al-As’ath, Sunan Abi> Da>wu>d, Ttp., tp., tt.
Topo
Santoso, Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syamil Press dan Grafika, 2001.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusai, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
0 Comments