NASIKH – MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nasakh
adalah salah satu dari dua macam cara yang dikenal masyhur di kalangan para
ulama dalam menyelesaikan persoalan Ta’arud Al-Dillah. Kedua cara tersebut
didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanifah dan Syafi’iyah.
Persoalan Ta’arud Al-Dillah dibahas oleh para ulama’ ketika ada pertentangan
antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara dhohir
pada derajat yang sama. Maksudnya adalah antara ayat dengan ayat atau antara
surat dengan surat. Pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yang
terkandung dalam dua dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para
mujtahid dalam memahami, menganalisa, serta sejauh mana logika mereka.
Nasakh
adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang
datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Mansukh ialah hukum yang
diangkatkan, adapun untuk mengetahui lebh dalam mengenai ilmu nasakh mansukh
ini akan kami bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian nasakh dan mansukh
2. Syarat dan macam nasakh dan mansukh
3. Kemungkinan terjadinya nasakh dan
mansukh.
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian nasakh dan mansukh
2. Mengetahui syarat serta macam nasakh dan
mansukh
3. Mengetahui kemungkinan terjadinya nasakh
dan mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Nasakh dan Mansukh
1. Pengertian Nasakh
Dari
segi bahasa nasakh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus,
mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi
sebagai berikut :
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan
adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan
khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim
al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan
dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”[1]
- Para ulama mutakaddimin memperluas
pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu :[2]
a. Pembatalan hukum yan ditetapkan
terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum
oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan hukum yang datang kemudian
terhadap hukum yang masih bersifat samara
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu
yang bersyarat.
- Para ulama muta’akhirin berpendapat
nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
2. Pengertian Mansukh
Secara
etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada
juga yang mengartikan المرتفع الحكم [4]
yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum
syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh
hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
B. Syarat, Macam Nasakh dan Mansukh
Dari
kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa
dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui
tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang
disebut mansukh (yang dihapus)
c. Nasakh harus datang kemudian (terakhir)
dari mansukh.
Syarat-syarat nasakh dan mansukh
1. yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2. dalil yang menghapus hukum syara’
tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3. adanya tenggang waktu antara nasakh dan
mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng
ayat).
Contoh
:
ثم
اتموالصيام bukan merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang dianggap
nasikh).
¢OèO
(#q‘JÏ?r& tP$u‹Å_Á9$# ’n<Î) È@øŠ©9$# 4
Kalau
ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus
dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat
tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4. antara dua dalil nasakh dan mansukh
adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa
dikompromikan.
Macam-macam nasakh dan mansukh
1. Nasakh Badal (nasakh yang ada
penggantinya), terbagi menjadi tiga :
- Nasakh dengan badal akhof (pengganti
yang lebih ringan)
- Nasakh mumatsil (pengganti serupa)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih
berat)
2. Nasakh Ghairu Badal (nasakh yang tidak
ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang
miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3. Nasakh hukum dan tilawah (bacaan),
kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi
dalam al-Qur’an.
4. Nasakh hukum tanpa tilawah artinya teks
ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5. Nasukh tilawah tanpa hukum, maksudnya
hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
6. Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus
seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R.
Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum
yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat
nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang
telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka
tidak memberikan contohnya.
Menurut jenisnya nasakh dan mansukh dibagi
menjadi :
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh
ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti
surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2. Nasakh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua
macam :
a. Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad,
jumhur tidak membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad
mengandung dzanni.
b. Nasakh al-Qur’an dengan hadits
mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah
mutawattir sama-sama wahyu.
3. Nasakh sunnah dengan al-Qura’an
Nasakh
ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’ contohnya seperti berpuasa
pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori
dan Muslim dari Aisyah r.a.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah, terbagi
menjadi 4 :
a. Nasakh mutawattir dengan mutawattir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawattir
d. Nasakh mutawattir dengan ahad.
Tiga
bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur
tidak membolehkan hal ini.[6]
C. Kemungkinan Terjadinya Nasakh dan Mansukh
Pendapat
para jumhur ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat
ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara
para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil
mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “apa saja ayat kami nasakhkan,
atau kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik
darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106). Dan An-Nahl
ayat 101 yang artinya : “dan apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl
: 101).
2. Secara akal maupun pandangan tidak
mungkin terjadi
Pendapat
ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang
islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan,
bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya
tidak diketahui).
Tidak
benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut
berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui semua.
3. Secara akal mungkin namun secara
pandangan tidak mungkin terjadi.
Pendapat
ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu
Muslim Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi
mereka mengatakan nasakh dilarang dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan
orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat
Al-Fushilat ayat 42 yang artinya : “yang datang kepadanya ( al-Qur’an)
kebathilan baik dari depan maupun belakang”.
Cara mengetahui nasakh dan mansukh
Untuk
mengetahui nasakh dan mansukh bisa dilakukan dengan cara :
1. ada
keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti perkataan Nabi, “ayat ini
dinasakh dengan ayat ini”. Atau seperti hadits nabi.
2. harus ada kesepakatan dari ijma’ para
imam antara ayat yang dinasakh dan yang dimansukh, seperti nasakh ayat puasa
as-Syura dengan puasa ramadhan.
3. mengetahui dari salah satu nash, mana
yang pertama dan mana yang kedua ditinjau dari sejarah.[7]
History nasakh dan mansukh
Nasakh
dan mansukh hanya terjadi ketika nabi Muhammad masih hidup, karena nasakh tidak
terjadi kecuali dengan jalan syari’ah, dan suatu syari’ah tidak akan diketahui
kecuali dengan wahyu, sedangkan wahyu hanya ada ketika Rosulullah masih hidup,
adapun setelah beliau wafat, maka tidak ada lagi nasakh pada suatu hukum[8]
Urgensi mengetahui nasakh dan mansukh
Menurut
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan
dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan
fleksibilitas hukum islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila
tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka
datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
Perbedaan dan persamaan nasakh dengan takhsis
- Persamaan : terletak pada fungsinya
yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum
- Perbedaan :
• Takhsis membatasi jumlah afradul amm
sedangkan nasakh membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang
baru.
• Takhsis hanya masuk pada dalil amm,
nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash
• Takhsis hanya masuk pada hukum saja,
nasakh dapat masuk pada hukum dan membatalkan berita dusta.
Rukun nasakh
1. Adat an-Nasakh, yaitu pernyataan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasakh adalah dalil yang kemudian
menghapus hukum yang telah ada.
3. Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan,
dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani
hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
dan Terjemahnya
Manna’
Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004
Muhammad
Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Taufiqiyah,
jilid 2
Shihab
Quraish,1992, Membumikan Al-Qur’an,
Bandung : MIzan.
DR.
Wabah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islamy, Dar. Al-Fikr Damsyiq, Jilid 2.
Usman,
2009, Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Teras
________________________________________
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil
al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : MIzan,
1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil
Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, HAL. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit, Hal
198
[6] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226
[8] DR. Wabah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islamy, Dar.
Al-Fikr Damsyiq, Jilid 2, hal. 288
0 Comments