Klonning Manusia
Majma`
Buhus Islamiyah Al-Azhar di Cairo Mesir telah mengeluarkan fatwa yang berisi
bahwa "kloning manusia itu haram dan harus diperangi serta dihalangi
dengan berbagai cara".
Naskah
fatwa yang dikeluarkan lembaga itu juga menguatkan bahwa kloning manusia itu
telah menjadikan manusia yang telah dimuliakan Allah menjadi objek penelitian
dan percobaan serta melahirkan beragam masalah pelik lainnya.
Fatwa
itu menegaskan bahwa Islam tidak menentang ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
bahkan sebaliknya, Islam justru mensupport bahkan memuliakan para ilmuwan.
Namun bila ilmu pengetahuan itu membahayakan serta tidak mengandung manfaat
atau lebih besar mudharatnya ketimbang manfaat, maka Islam mengharamkannya demi
melindungi manusia dari bahaya itu. Karena dalam qaidah fiqhiyah dalam Islam
dijelaskan bahwa menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada
mengambil mashlahat.
Namun
fatwa ini mengharuskan untuk membedakan antara kloning dengan teknologi
rekayasa genetika pada wanita dan hewan untuk menghasilkan keturunan yang baik
dan bermanfaat atau untuk pengobatan medis. Seperti kloning organ tubuh yang
rusak dan harus didapat gantinya yang sesuai. Ini mungkin didapat dengan cara
kloning organ itu. Bila motivasinya demikian, memang dibolehkan karena asas
manfaat yang lebih besar daripada mudharatnya.
Fatwa
ini telah dikeluarkan sebelum adanya pengumuman dari ilmuwan Perancis dan para
teamnya tentang telah lahirnya bayi kloning pertama dan diberi nama Eve atau
Hawa.
Sesungguhnya
yang monlak dibolehkannya kloning manusia ini bukan hanya kalangan ulama Islam,
Vatican pun menentang lahirnya bayi hasil kolning ini. Bahkan PBB pun
menentangnya.
Bagaimana
sesungguhnya proses kloning itu ? Kloning adalah upaya untuk menduplikasi
genetik yang sama dari suatu organisme dengan menggantikan inti sel dari sel
telur dengan inti sel organisme lain. Kloning pada manusia dilakukan dengan
mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu disatukan dengan sel
dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti halnya embrio
bayi tabung.
Praktik
dan prosedur pelaksanaan kloning dapat diidentifikasi beberapa macam. Pertama
kloning dimaksudkan untuk "memproduksi" seorang anak dan yang lainnya
mengkloning organ-organ tertentu dari anggota badan untuk keperluan tertentu.
Yang pertama mempunyai dua tujuan. Untuk mengupayakan keturunan bagi pasangan
yang mandul dengan cara mengkloning DNA dari suaminya yang sah. Serta untuk
kepentingan sains dan teknologi semata. Sedang kloning terhadap anggota badan
untuk mengganti jaringan sel yang rusak di dalam tubuh. Adapun mafsadat dan
bahaya yang akan timbul dari proses kloning ini terdiri dari beberapa sisi,
antara lain :
1. Masalah Hukum Syariah
Dalam
hal ini terutama masalah nasab dan hubungan famili Islam sangat memperhatikan
hubungan nasab dan famili, karena berkait dengan urusan yang lebih jauh.
Seperti
masalah hukum mahram tidaknya seseorang dengan lawan jenisnya. Masalah apakah
seseorang mewarisi harta dari seseorang?. Siapa yang harus menjadi wali nikah
bagi seorang wanita dari hasil koloning ?. Bagaimana konsep saudara sepersusuan
terhadap dirinya?. Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap nafkah dan
kehidupannya? Berikutnya siapa pan dan laqab anak itu?
Hukum-hukum
yang hidup di dalam masyarakat juga akan menimbulkan masalah. Latar belakang
keluarga dari garis keturunan ibu dan bapak masih tetap menjadi unsur penting
di dalam berbagai pertimbangan hukum. Jika seseorang tidak mempunyai ayah atau
ibu konvensional belum ada contoh pemecahannya dalam hukum atau fikih Islam.
Berbeda kalau seseorang kehilangan ayah atau ibu karena meninggal dunia atau
hilang, dapat segera diselesaikan oleh pengadilan.
Dengan
proses kelahiran yang tidak wajar ini maka akan timbul kekacauan hukum yang
serius. Misalnya, seseorang bisa memesan sel telur pada sebuah bank sel telur
yang mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan. Atau seseorang
bisa saja punya anak tanpa istri atau suami.
2. Masalah hubungan psikologis
Islam
juga sangat memperhatikan hubungan psikologis yang terjalin antara anak dan
orangtua. Bila seorang anak lahir dari hasil kloning, maka akan timbul
kesulitan untuk memastikan siapakah sosok ayah atau sosok ibu yang akan
dijadikan tempat perlidungan psikologisnya ? Karena tidak jelas lagi hubungan
apa yang dihasilkan dari proses yang tidak wajar itu.
3. Masalah Pretimbangan moral
Kloning
terhadap manusia tidak pernah ditemukan ayat dan hadisnya secara khusus, baik
yang melarang maupun yang membolehkannya.
Namun,
semangat umum ayat-ayat Al Quran dan hadis berorientasi kepada peningkatan
kualitas hidup dan martabat kemanusiaan. Jika kloning manusia terbukti akan
melahirkan manusia yang tidak produktif, terutama dalam mengemban amanah
beratnya sebagai khalifah di Bumi, apalagi jika terbukti menurunkan martabat
kemanusiaan, maka kloning dapat ditolak dengan pertimbangan moral.
4. Masalah Keamanan dan Keselamatan
Mengkloning
manusia bukan tanoa resiko, bahkan sangat tinggi sresikonya. Dengan tingginya
frekuensi mutasi pada gen produk kloning, efeknya nanti akan terlihat pada
beberapa waktu kemudian. Resiko cacat dan tidak normal pasti selalu menghantui
bayi-bayi hasil kloning ini. Bila nanti bayi itu mati, maka siapakah yang
bertanggung-jawab secara moral atas ‘program pembunuhan massal’ bayi-bayi tak
berdosa ? Dan bila bayi itu tetap hidup dengan memiliki cacat fatal, kepada
siapakah insan-insan itu harus mengadukan halnya ? Apa dosa mereka sehingga
harus lahir dengan kondisi cacat ? Dimanakah moral dan nurani para ilmuwan saat
itu ? Apakah lalu manusia kloning itu harus ‘dimusnahkan’ ?
5 .Masalah niat dan motivasi
Sementara
kalangan yag mendukung kloning manusia mengatakan bahwa teknologi ini demi
kepantingan umat manusia. Tapi kenyataannya, dari segi pembiayaan saja sudah
pasti kloning manusia memerlukan biaya teramat besar.
Sebagai
perbandingan, Dolly konon memerlukan 272 kali eksperimen dengan biaya yang luar
biasa. Konon seorang kaya Amerika harus menghabiskan 2,3 juta dollar AS untuk
mengklon anjing kesayangannya yang telah mati.
Bayangkan,
sementara kita harus kehilangan biaya yang begitu besar untuk memperjuangkan
satu kandidat "manusia", sementara ribuan "manusia-manusia
formal" meninggal setiap hari karena kekurangan gizi. Jadi, jika maksud
dan tujuan (maqashid) kloning manusia untuk kemanusiaan, maka akan
kontraproduktif. Lebih baik dana sebesar itu diberikan kepada fakir miskin!
Lain
halnya kloning sel organ tubuh tertentu untuk keperluan pengobatan. Hal ini
memerlukan pembahasan lebih mikro. Mungkin hal ini bisa dihubungkan dengan
pencangkokan organ tubuh yang sudah ada hukumnya di dalam masyarakat.
pertemuan
Keempat
Oleh
karena itu tidak heran jika hasil ijtihad dan penjelasan syar’i tentang masalah
ini banyak berasal dari pemikiran para ahli fikih kontemporer, keputusan
lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional maupun internasional
Mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan
alternatif medis modern, pada dasarnya secara global tidak ada perselisihan
dalam hal bolehnya transplantasi organ. Dalam simposium Nasional II mengenai
masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal
Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah
ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP
Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok
agama di Indonesia.
Bolehnya
transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa;
“Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali
Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat
pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti”
(kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang
mati.) Meskipun demikian sangat perlu dan harus ada penjelasan hukum syariah
yang lebih detail dan tegas dalam masalah ini dan tidak boleh ta’mim
(generalisasi) hukum terlepas dari batas dan ketentuan serta syarat-syarat
lebih lanjut agar tidak keluar dari hikmah kemanusiaan dan norma agama serta
moral samawi sehingga menjadi praktek netralitas etis yang tidak sesuai dengan
budaya manusiawi dan keagamaan. Masalah transplantasi dalam kajian hukum
syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu sebagai
berikut :
Pertama : Penanaman
jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama.
Kedua :
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yaitu sbb:
A.
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain.
a.1. Penanaman jaringan/organ
yang diambil dari individu orang hidup.
a.2.
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang mati. B. Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari individu binatang.
b.1. Penanaman jaringan/organ
yang diambil dari binatang tidak najis/halal.
b.2. Penanaman jaringan/organ
yang diambil dari binatang najis/haram.
Masalah Pertama :
Penanaman
organ/jaringan yang diambil dari tubuh ke daerah lain pada tubuh tersebut.
Seperti, praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain
dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan
penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian
kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas)
diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan
keselamatan jiwanya karena suatu sebab. ( lihat, Dr. Al-Ghossal, Naql wa Zar’ul
A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha:126).
Masalah Kedua :
Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
A. Penanaman
jaringan/organ yang diambil dari orang lain.
A.1. Penanaman jaringan/organ
yang diambil dari orang lain yang masih hidup. Kasus Pertama : Penanaman
jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila
diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh.
At+as dasar firman Allah:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(195)
Artinya
:"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. " (QS Al
Baqarah:195.)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya:"Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu" (QS An-Nisa 29)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya:"Dan
tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran ..." (QS Al-Maa-idah 2).
Kasus
kedua :
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang
tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal
atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada
dasarnya masalah ini diperbolehkan hanya harus memenuhi syarat-syarat berikut
dalam prakteknya yaitu :
1.
Tidak akan membahayakan kelangsungan
hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam
menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko
mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2.
Hal itu harus dilakukan oleh donatur
dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3.
Boleh dilakukan bila memang benar-benar
transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit
pasien dan benar-benar darurat.
4.
Boleh dilakukan bila kemumgkinan
keberhasilan transplantasi tersebut peluangnya optimis sangat besar. (Lihat
hasil mudzakarah lembaga fiqh islam dari Liga Dunia Islam/Rabithah Alam Islami,
edisi Januari 1985 M.)
Namun
demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan
yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena
beberapa alasan sbb. :
1.
Merusak citra dan penampilan lahir
ciptaan manusia .
2.
Mengakibatkan terputusnya keturunan bagi
donatur yang masih hidup.
3.
Dalam hal ini transplantasi tidak
dinilai darurat dan kebutuhannya tidak mendesak.
4.
Dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab
menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menitiskan sifat
keturunan.(Ensiklopedi kedokteran modern edisi bahasa arab vol. III hal. 583,
Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)
A.2.
Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati. Dalam kasus ini
penanaman jaringan/organ tubuh diambil dari orang yang kondisinya benar-benar
telah mati (kematian otak dan jantungnya sekaligus). Organ/jaringan yang akan
ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat
difungsikan. ( Kajilah QS. 18:9-12, kaedah-kaedah hukum Islam al.: " Suatu
hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin
", " Dasar pengambilan hukum adalah tetap berlangsungnya suatu
kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya." )
Sesungguhnya
telah banyak fatwa dan konsensus mufakat para ulama dari berbagai muktamar,
lembaga, organisasi dan institusi internasional yang membolehkan praktek
transplantasi ini diantaranya adalah sbb. :
Konperensi
OKI ( di Malaysia, April 1969 M ). dengan ketentuan kondisinya darurat dan
tidak boleh diperjualbelikan.
Lembaga
Fikih Islam dari Liga Dunia Islam ( dalam keputusan mudzakarohnya di Mekkah,
Januari 1985 M.)
Majlis
Ulama Arab Saudi ( dalam keputusannya no. 99 tgl. 6/11/1402 H.)
Panitia
Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam diantaranya seperti : * Kerajaan
Yordania dengan ketentuan ( syarat-syarat ) sbb. :
1.
Harus dengan persetujuan orang tua mayit
/ walinya atau wasiat mayit.
2.
Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan
dan darurat.
3.
Bila tidak darurat dan keperluannya
tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli
waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ).
Negara
Kuwait ( oleh Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam keputusan no.97 tahun
1405 H. ) dengan ketentuan seperti di atas. * Rep. Mesir. ( dengan keputusan
Panitia Tetap fatwa Al-Azhar no. 491 ) *
Rep.
Al-Jazair ( Keputusan Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair,
20/4/1972)
Disamping
itu banyak fatwa dari kalangan ulama bertaraf internasional yang membolehkan
praktek tersebut diantaranya adalah :
1.
Abdurrahman bin Sa'di (
1307-1367H.),
2.
Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa
Alqobarih ),
3.
Jadal Haq ( mufti Mesir dalam majalah
Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403),
4.
DR. Yusuf Qordhowi ( dalam Fatawa
Mu'ashiroh II/530)
5.
DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128
),
6.
DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath,
edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ),
7.
DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq
Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.),
8.
DR. Mahmud As-Sarthowi ( dalam bukunya
Zar'ul A'dho, Yordania),
9.
DR. Hasyim Jamil ( majalah Risalah
Islamiyah, edisi 212 hal. 69).
Secara
umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil sebagai
berikut:
a.
Ayat-ayat tentang dibolehkannya
mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. al. QS.
2:173, 5:3, 6:119,145.
b.
Firman Allah swt. yang artinya :"
...dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." QS. Al-Maidah (5):
32.
c.
ayat-ayat tentang keringanan dan
kemudahan dalam Islam al.QS. 2:185, 4:28, 5:6, 22:78
d.
Hal itu sebagai amal jariyah bagi
donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan.
e.
Allah sangat menghargai dan memuji
orang-orang yang berlaku 'itsaar' tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja
membahayakan dirinya atau membinasakannya.QS. 95:9
f.
Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang
mengharuskan dihilangkannya segala bahaya. Sebenarnya hampir semua ulama
mendukung praktek ini asalkan mengikuti ketentuan-ketentuan kaedah syari'ah
kecuali sebagian kecil dari mereka yang keberatan dan tidak memperbolehkannya
seperti : Syeikh As-Sya'rowi ( harian Alliwa edisi 226, 27/6/1407), Al-Ghomari
( dalam bukunya ttg. haramnya transplantasi ), Assumbuhli ( Qodhoya fiqhiyyah
mu'ashiroh, hal.27), Hasan Assegaf ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan DR.
Abd. Salam Asssakri ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan lainnya.
Alasan
mereka secara umum adalah keberatan mereka terhadap praktek transplantasi
karena dapat berakibat dan menjurus kepada tindakan merubah dan merusak
kehormatan jasad manusia yang telah dimulyakan Allah. Semuanya itu sebenarnya
dapat ditangkal dan diatasi atau ditanggulangi dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan medis dan syari'eh yang berlaku dengan penuh kehati-hatian
dan amanah. ( lihat, QS. 17:70, 4:29. )
B.
Penanaman jaringan/organ yang diambil
dari tubuh binatang.
B1.
Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak
(sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan
dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk
mencarinya bagi yang sakit. b.2. Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram
seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami
terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang
benar-benar gawat darurat dan tidak ada pilihan (alternatif organ) lain.
(lihat; QS Al Baqarah:173, Al Maidah:3, Majma' Annahr : II/535, An-Nawawi dalam
Al-Majmu' : III/138).
PENUTUP (CATATAN):
Mengingat
kondisi darurat, kebutuhan dan kompleksitas dimensi masalah serta keterbasan
jaringan/organ transplan yang layak, maka menurut hemat saya semua kasus yang
diperbolehkan di ataspun dalam prakteknya harus dilakukan dengan ketentuan
skala prioritas sebagai berikut :
I.
Segi Resipien atau Reseptor harus
diperhatikan hal-hal berikut untuk didahulukan antara lain:
1.
Keyakinan agamanya (QS. Al Hujurat: 1,
Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8).
2.
Peranan, Jasa atau kiprahnya dalam
kehidupan umat. (QS. Shaad: 28)
3.
Kesholehan, ketaatan dan pengetahuannya
ttg ajaran Islam. (Al Mujadalah: 11)
4.
Hubungan kekerabatan dan tali silatur
rahmi ( QS. Al Ahzab: 6)
5.
Tingkatan kebutuhan dan kondisi gawat
daruratnya dengan melihat persediaan.
II.
Segi Donor juga harus diperhatikan ketentuan berikut dalam prioritas
pengambilan:
§ Menanam
jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis.
§ Mengambil
jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat
tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya.
§ Mengambil
dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi
gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. Dalam sebuah riwayat atsar
disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan
barang haram.” Tetapi dalam kondisi ‘darurat syar’i’ sebagaimana dalam kaedah
fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan
pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus
dihilangkan) yang mengacu pada ayar dharurat seperti surat Al Maidah: 3 maka
boleh memanfaatkan barang haram dengan sekedar kebutuhan dan tidak boleh
berlebihan dan jadi kebiasaan sebab dalam kaedah fiqh dijelaskan “Adh Dharurat
Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan Kondisi Darurat Harus Dibatasi Sekedarnya)
sebagaimana mengacu pada batasan dalam ayat darurat tersebut diatas; fii
makhmashah ghaira mutajanifin lill itsmi (karena kondisi ‘kelaparan’ tanpa
sengaja berbuat dosa) atau dalam surat Al Baqarah: 173 dibatasi; famanidh
dhuturra ghaira baaghin walaa ‘aadin falaa itsma ‘alaih (Tetapi barang siapa
dalam keadaan terpaksa/darurat sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya).
4.
Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di
atas.
5.
Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas
disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) dengan
kesadaran, pengertian, suka rela atau tanpa paksaan. Wallahu A'lam Bissawab
000000000000000000
Majelis
Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya no. 1 pada Muktamar ke empat tanggal
6-11 Pebruari 1988 di Jeddah menyatakan bahwa donor organ tubuh manusia itu
terbagi menjadi beberapa bentuk. Dari masing-masing bentuk itu ada hukumnya
sendiri-sendiri sesuai dengan pembahasan para ulama dalam muktamar itu.
Secara
umum bisa disimpulkan antara lain :
1.
Boleh memindahkan organ / bagian manusia hidup ke jasad manusia hidup lainnya.
Bila organ /bagian itu bisa diperbaharui secara otomatis seperti donor darah
dan transplantasi kulit.
2.
Diharamkan mendonorkan bagian organ tubuh yang vital (menentukan hidup mati)
bagi nyawa dimana pendonor itu adalah manusia yang masih hidup. Seperti donor
hati, jantung dan lainnya.
3.
Begitu juga diharamkan mendonorkan bagian organ tubuh yang akan mengurangi
peran pokok kehidupan pendonor sedangkan dia masih hidup. Meski tidak langusng
berkaitan dengan nyawa pendonor. Seperti kornea kedua mata.
4.
Sedangkan donor organ dari tubuh manusia yang telah mati kepada manusia hidup
yang nyawanya sangat tergantung dari cangkok itu atau pun yang menambah
kemampuan pokok manusia dibolehkan. Dengan syarat bahwa hal itu harus seizin
mayat itu sejak masih hidup atau seizin dari para ahli warisnya atau izin dari
wali muslimin bila mayat itu tidak dikenal identitas dan ahli warisnya.
Perlu
ditegaskan bahwa semua bentuk donor organ yang disebutkan di atas tersebut
harus bukan merupakan jual-beli, karena jual beli organ itu diharamkan.
Namun
pengeluaran jumlah tertentu dari penerima donor demi ungkapan rasa terma kasih
dan syukur kepada pihak donor, masih menjadi bahan perbedaan dan ijtihad para
ulama.
Demikian
Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya.
Sedangkan
Dr Yusuf Al-Qaradhawi menuliskan dalam fatwa kontemporernya : BOLEHKAH ORANG
MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA MASIH HIDUP?
Ada
yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan
sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki
tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya,
misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan
titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya?
Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri
pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka
dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan
mudarat buat dirinya.
Namun
demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari
Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya,
sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan
oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah:
"...
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan
tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan
membelanjakan harta itu.
Sebagaimana
manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang
membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya
untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya
perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau
membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh
anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan
dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang
sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila
seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang
yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan
kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan
sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang
membutuhkannya?
Pada
zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari
tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang
ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta
menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini
--menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa
donor darah dapat diterima syara'.
Didalam
kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat
mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam
keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang
yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan
orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka
tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya)
yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena
itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang
menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat,
maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi
orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang
yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.
Islam
tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua
kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh
termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk
jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh)
itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan
seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota
tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala
merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah
yang paling mulia.
Kalau
kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah
kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya,
bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak
boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar,
kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak
tetap atas dirinya.
Oleh
sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma
satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya.
Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan,
kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain
yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan
dharar pula."
Para
ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar
daripadanya.
Karena
itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan
kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan
menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia
mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu
pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari
pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu
organ.
Hal
itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai
hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang
yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada
suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin
mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya
tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya
jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan
salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah
sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian
hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh
karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping
itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan
berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan
organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula
halnya orang gila.
Begitu
juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang
gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap
harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia
mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal
organ tubuh.
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan
organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap
orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir
harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir
yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak
Islam.
Demikian
pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang
keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang
murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum
bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila
ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya lagi
nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan
seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk
diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya
kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si
pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan
manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang
mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan
menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Apabila
si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada
yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih
kuat lagi, sebagaimana firman Allah:
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..."
(al-Anfal: 75)
Juga
diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu,
sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang
khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang
merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga
sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu
saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu
tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu
--sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela,
sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan
ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan
jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah
miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ
diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk
konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia
baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja,
morfin, dan sebagainya.
Tetapi,
apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor
--tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah,
dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji
dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang
berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak
dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan
Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman
(utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya
bersabda:
"Sesungguhnya
sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran
utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila
seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang
bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri,
maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu
setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut
pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya
pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan
--meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya
setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat
yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan)
sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan
lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia
berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan
mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan
amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya,
sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak
dijumpai.
Umar
r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah,
"Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan
mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah
kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan
organ tubuh ini.
Ada
yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat
dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan
tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1
Saya
tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah
bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang
dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan
seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan,
bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Sementara
itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit,
padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud
hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan
mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam
peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya
hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain
itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah
melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah
mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu
melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali
perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama
salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri
dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi,
sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini
terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau
mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga
meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban
memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum
muslim, dan sebagainya.
Mendonorkan
sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara
meyakinkan.
BOLEHKAH
WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?
Apabila
seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian
organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah
bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada
yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri,
sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau
mendonorkannya.
Namun
begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak
dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga
berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si
mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang
mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak
orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.
Disamping
itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum
qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja,
sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"...
Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."
(al-Isra': 33)
Sebagaimana
halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka
menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit
atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang
bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam
firmanNya:
"...
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf)
membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..."
(al-Baqarah: 178)
Maka
tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian
organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan
tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala
darinya, sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya
meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat
pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain,
atau karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena
duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah
meninggal dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta
dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa sedekah dengan
sebagian anggota tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.
Oleh
karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan
sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk
mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai
sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si
sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Sebagian
saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ
tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit
sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu
mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa
anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya
ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Saya
jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan
pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya
kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang
tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah.
Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa
itu-- melalui anak-anak mereka.
Hanya
saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si
mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena
yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib
dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH
Apabila
kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ
tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka
bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian
organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui
ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang
sakit dan yang terkena musibah?
Tidak
jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas
darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat,
berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia
mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak
didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ
tubuhnya tidak didonorkan.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun
mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang,
karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia
hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan
pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir
kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan
menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan
Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang
kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.
Bahkan
kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim
(tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah
SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja
kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kalau
begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak
berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya)
sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman
dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang
dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter
spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang
beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang
dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,
berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"...
lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..."
(al-Hajj: 46) "... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan
firman Allah:
"...
sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)
Kata
najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang
berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati
dan akal (pikiran).
Karena
itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ
tubuh orang nonmuslim.
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG
MUSLIM
Adapun
pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam
tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali
dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan
hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang
diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar
kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter
muslim yang tepercaya.
Mungkin
juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah
memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan
mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti
memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw.
memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai
itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an.
Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka
arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak
dimakan.
Diriwayatkan
dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing,
lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas
budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa
tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka
menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda,
"Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2
Permasalahannya
sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan
memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam
hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda
najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat
dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan
tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan
manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram,
meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya
sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada
didalam tubuh.
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya
pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah
pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan
mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir
ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut
pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah
menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter
khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang,
yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang
yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat
inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal
ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan
apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang
lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran
keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat
diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada
orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai
hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
Demikian
pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu
tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang
besar.
0 Comments