BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pergeseran Budaya Lokal Menuju
Budaya Global
Dengan teori idealismenya Talcott Parsons menyatakan bahwa inti
setiap masyarakat adalah jalinan makna, kepercayaan, dan nilai yang dianut
bersama. Kepercayaan dan nilai suatu masyarakat dapat membentuk struktur
cara-cara dasar mereka dalam mengorganisasikan kehidupan sosialnya. Sebagai
contoh, masyarakat barat modern terorganisasi dengan bingkai dasar nilai-nilai
kekristenan dan demokrasi liberal. Dia percaya bahwa karena orang Barat telah
mengembangkan sistem nilai politik dan keagamaan ini, mereka mampu memecahkan
problem kemasyarakatan tertetu yang masih menimpa banyak masyarakat lain yang
anggotanya hidup dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang sangat berbeda[1].
Sedangkan melalui model
"Media Interaksi" Talcott Parsons menyatakan bahwa perubahan fungsi
suatu masyarakat itu karena ada empat media. Menurutnya media adalah kapasitas
perubahan suatu masyarakat (kelompok) ketika berinteraksi dengan kelompok atau
sektor masyarakat lain, yaitu: Komitmen atau penyerapan nilai/gagasan dari luar, karena mereka
merupakan satu-satunya yang benar dan relevan, kekuasaan (power) --kemampuan
satu pihak untuk memaksakan gagasannya kepada yang lain--, Pemanfaatan ( utility
) --terjadinya pengapdosian gagasan tertentu dan menguntungkan kelompok yang
mengadopsi--, dan pengaruh--bila kelompok pengadopsi menganggap bahwa mereka telah menerima sesuatu yang
dianggap baik[2].
Pengaruh dalam hal ini dapat
dikatakan sebagai kemampuan untuk memotivisir lawan guna melakukan sesuatu yang
diinginkan. Secara kongkrit hal ini terjadi bila satu partner jauh lebih
superior dalam hal teknologi maupun ekonomi dan tidak bisa ditandingi. Hal
seperti ini sering terjadi dalam situasi kontak dari dua masyarakat pada
berbagai tahap pembangunan, seperti antara negara yang sedang berkembang versus
negara industri, negara yang sedang dijajah versus negara yang sedang menjajah,
termasuk desa lawan kota.
Jelaslah bahwa setidaknya
pengaruh dan kekuasaan adalah media yang tidak memberikan kesempatan interaksi.
Dominasi teknis ekonomi negara industri dianggap terlalu tinggi oleh negara
berkembang, sehingga yang pertama menjadi teladan bagi yang terakhir
(sehubungan dengan aspek material kebudayaan). Situasi "interaksi tidak
seimbang" ini menjadi lebih mantap
lewat media kekuasaan --tidak hanya dibidang politik dan militer, tetapi juga
kekuasaan ekonomi-- yang hanya berada di pihak yang mempengaruhi. Dalam
kontalasi demikian penyerapan aspek material kebudayaan yang dominan oleh
kebudayaan lainnya, bila tidak terjadi lewat media pengaruh atau media pemanfaatan dipaksakan
lewat media kekuasaan.
Pengabdosian substansial
kebudayaan Barat (budaya teknologi) mensyaratkan perubahan fungsi mendasar dari
pondok pesantren, yaitu perubahan dari fungsi pengembangan budaya tradisional
yang sifatnya lokal menjadi fungsi pengembangan budaya nasional yang sifatnya
besar dan global. Perubahan fungsi budaya, dalam hal ini berarti perubahan prioritas dari nilai-nilai kehidupan yang
selama ini dianut. Jika budaya teknologi menerobos sistem tradisional tanpa
menimbulkan perubahan prioritas
nilai-nilai kehidupan pondok pesantren (atau secara perlahan-lahan
diintegrasi), dapat menimbulkan reaksi (defensif) budaya. Misalnya,
dalam bentuk gerakan nativistik di pondok pesantren yang berusaha menyusun
kembali ( restrukturisasi) dari nilai utama yang dihayati. Reaksi-reaksi
nativistik (pribumisasi) ini muncul ketika situasi disharmoni dalam
sistim budaya tradisional terjadi, sebagai akibat penetrasi sumber-sumber eksogeneus.
Reaksi defensif bisa juga timbul karena diskrepans antara kesediaan pondok
pesantren memakai produk material dari budaya teknologi, tidak dibarengi oleh
kesediaan mengadopsi aspek non materialnya (nilai, etos, dan sebagainya).
Padahal aspek material suatu kebudayaan tidak netral. Artinya tidak terpisahkan
dari aspek non-material kebudayaan yang menghasilkannya.
Apakah dengan asumsi di atas dan dalam kurun waktu tertentu,
pengabdosian aspek material (sarana teknologi) akan berdampak penetrasi aspek
non material budaya teknologi? Bila itu terjadi, apakah terjadinya perubahan fungsi pondok pesantren dalam
kerangka pengembangan kebudayaan nasional juga dipengaruhi oleh pengabdosian
aspek sarana teknologi dan penetrasi budaya teknologi? Teori kesenjangan budaya
(the cultural lag theory) berasumsi bahwa alih budaya non material
dengan jarak waktu tertentu, akan terjadi sebagai akibat pengabdosian
elemen-elemen budaya materi. Cepat lambatnya tergantung pada kapasitas adaptasi
masyarakat atau budaya inferior untuk menerima komitmen pihak superior[3].
Era industrialisasi sendiri akan membawa perubahan sosial, antara
lain sikap rasional dan pragmatisme serta serba kepraktisan. Hal ini akan
berbenturan dengan budaya-budaya keagamaan yang masih tampak di beberapa
pesantren. Di satu pihak, hasil teknologi tepat guna sukar diterapkan oleh para
santri di pedesaan, apabila sikap keberagamaan tidak segera dihadapi dengan
dakwah pembangunan dan pendidikan terpadu antara masalah agama an sich
(keimanan dan ibadah) dengan pendidikan penalaran[4].
B. Dinamika
Budaya Pesantren
Saat Islam masuk di Indonesia, pondok pesantren lebih berfungsi
sebagai pengembangan budaya yang sifatnya lokal, yakni faham tarekat, karena
memang waktu itu kegiatan Islam lebih banyak bersentuhan dengan tarekat, di
mana terbentuk kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan
amalan-amalan dzikir dan wirid --yaitu dzikir dengan formula kata-kata
berjumlah tertentu-, serta para kiai pimpinan tarekat mewajibkan
pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk yaitu tinggal bersama-sama sesama
anggota tarekat di sebuah masjid selama 40 hari dalam satu tahun untuk
melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan seorang pemimpin tarekat. Untuk
keperluan suluk ini, para kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan
tempat memasak di kiri dan kanan masjid. Di samping amalan-amalan tarekat,
pusat-pusat pesantren semacam itu mengajarkan kitab-kitab dalam berbagai cabang
pengetahuan agama Islam kepada sejumlah pengikut inti (santri). Dengan
demikian, pada masa ini lembaga-lembaga pengajian untuk anak-anak dan
lembaga-lembaga pesantren yang menjadi pusat organisasi tarekat tidak bisa
dipisahkan, keduanya saling menunjang dan merupakan satu kesatuan struktur
dalam sistem pendidikan tradisonal.
Yang menarik untuk
diperhatikan, ternyata sistem madrasah yang berkembang di negara-negara Islam
lainnya sejak permulaan abad 12 M, tidak
muncul di Indonesia. Padahal sebelum itu, yaitu tahun 1062 M telah ada
pesantren di Pamekasan Madura, yaitu Pesantren Jan Tampes II[5],
berarti sebelumnya juga ada pesantren yang lebih tua lagi, yaitu Pesantren Jan
Tampes I. Hal ini berarti pondok pesantren masih mengembangkan budaya tasawuf
yang sifatnya lokal, belum terpengaruh oleh budaya-budaya dari luar, baik itu
menyangkut nilai budaya, sistem penylenggaraan aktivitas pesantren, maupun
budaya fisiknya -pengaturan gedung, ruangan belajar, dan sebagainya.
Fungsi pondok pesantren mulai bergeser ke arah pengembangan budaya
yang lebih besar -tidak hanya tasawuf tetapi juga budaya-budaya yang lain-
seiring dengan penyebaran dan pendalaman Islam secara intensif yang terjadi
pada masa abad ke 13 M sampai akhir abad ke 17 M. Dalam masa itu, berdiri
pusat-pusat kekuasaan dan studi Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate
dan Tidore, serta Gowa Tallo di Makasar. Dari pusat-pusat inilah kemudian Islam
tersebar ke seluruh pelosok nusantara melalui para pedagang, wali, ulamak,
mubaligh, dan sebagainya dengan mendirikan pesantren, dayah, dan surau[6].
Sejak abad ke 15 M, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu, dan
sejak abad ke 16 M melalui kerajaan Islam pertama, yaitu Demak, seluruh Jawa
--dengan perkecualian yang tak berarti, seperti di bagian pedalaman dan
pegunungan-- telah dapat di-Islam-kan[7],
yang berarti ajaran tasawuf juga tidak hanya tersebar pada santri, tetapi pada
masyarakat umum, bahkan para pejabat kerajaan dengan formulasi ajaran yang
beraneka ragam.
Perubahan fungsi pesantren
sangat mencolok dengan mulai hadirnya madrasah di pondok pesantren pada abad ke
16 M[8],
tetapi masih bercorak tasawuf. Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan
berbagai kitab Islam klasik dalam bidang jurisprudensi, teologi dan tasawuf.
Tidak seperti keadaan di negara-negara Arab, budaya pesantren di Jawa sejak
bentuknya yang paling tua telah merupakan kombinasi antara madrasah dengan
pusat kegiatan tarekat --kecuali pada pesantren modern yang muncul sejak
masuknya gerakan wahabi di Sumatera tahun 1802 M kemudian masuk ke pulau Jawa
tahun 1905 M yaitu sejak berdirinya Jamiatul Khair di Jakarta, kemudian di
susul organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan sebagainya[9]--.
Pola inilah (kombinasi pesantren dan madrasah) yang kemudian berkembang di Jawa, yang tidak mempertentangkan antara
aspek syariah dengan aspek tarekat.
Sebelum tumbuhnya Islam
moderen, di Jawa tidak muncul dikotomi antara ulama ahli syara dan ulama ahli
sufi. Justru bentuk Islam seperti inilah di Jawa perkataan "kiai"
lebih lazim dipakai daripada perkataan "ulama". Gelar
"kiai" ini dalam lingkungan pesantren dipakai untuk menunjuk seorang
sarjana muslim yang menguasai bidang-bidang tauhid, figh dan sekaligus juga
seorang ahli sufi. Begitu pula tidak
muncul istilah santri tradisional dan
santri moderen. Para santri ini benar-benar
menguasai ilmu agama, tetapi sangat kurang dalam soal science dan teknologi.
Pada abad ke 18 M, fungsi
pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan budaya rakyat terasa
sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama. Kelahiran pesantren baru
selalu diawali dengan cerita "perang nilai" antara pesantren yang
akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak
pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup di masyarakat dan
kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan
moral. Bahkan dengan hadirnya pesantren dengan jumlah santri yang banyak dan
datang dari berbagai masyarakat lain yang jauh, maka terjadi kontak budaya
antara berbagai suku, dan masyarakat sekitar. Kehidupan masyarakat sekitar menjadi semakin ramai, banyak
pedagang-pedagang kecil lahir, bahkan kemudian muncul pasar santri di beberapa
pesantren.
Nilai-nilai baru yang dibawa
pesantren tersebut, untuk mudahnya disebut "Nilai Putih" yaitu
nilai-nilai moral keagamaan, sedang nilai-nilai lama yang lebih dulu ada di
dalam masyarakat disebut "Nilai Hitam", yaitu nilai-nilai rendah dan
tidak terpuji, seperti "mo limo"
atau "lima nilai", yaitu
maling (mencuri), madon
(melacur), minum (minum-minuman keras), madat (candu), dan main (judi); dan
nilai-nilai lain yang tidak terpuji, seperti kebodohan, kedengkian, guna-guna
atau "santet" (tergolong black magic untuk menghancurkan lawan dengan
kekuatan gaib ), dan sebagainya.
Kebanyakan riwayat berdirinya sebuah pesantren diawali dengan kelana
seorang ulamak untuk menyebarkan agamanya dengan diikuti oleh satu-dua orang
santrinya, yang bertindak sebagai cantrik, yaitu orang yang magang (belajar
ilmu) pada kiai. Kiyai tersebut adakalanya terminal atau berhenti menetap lebih
dahulu di pinggiran desa atau hutan kecil sekitar desa, kemudian mengadakan
pengajian pada satu-dua orang desa, yang akhirnya diikuti oleh seluruh
masyarakat desa. untuk itu, di samping ilmu agama, hampir dapat dipastikan
bahwa setiap kiai salaf (lama) memiliki kekuatan ilmu "kanuragan" atau
kesaktian badan dan keahlian bela diri untuk mempertahankan diri atau melawan
kejahatan[10].
Nampak pada abad ke 18 tersebut, kehadiran pesantren sangat
dibutuhkan, tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang berupaya
mewariskan dan mengembangkan budaya
lokal (tasawuf), tetapi juga sebagai lembaga pendidikan yang mewariskan dan
mengembangkan budaya lebih besar (rasionalitas dan tradisi masyarakat luas),
lembaga penyiaran agama dan pusat gerakan perintisan kemerdekaan. Pesantren
berhasil menjadikan santrinya sebagai pelopor gerakan pengembangan Islam,
pendobrak kebatilan dan pengusir penjajah yang konsen terhadap rasa kebangsaan.
Selama masa kolonial,
pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan
rakyat, dan tidak berlebihan bila dinyatakan pesantren sebagai lembaga
pendidikan grass root people yang sangat menyatu dengan kehidupan mereka.
Menurunnya peranan pemimpin-pemimpin pribumi sebagai akibat dari konsolidasi
kekuasaan Belanda, di mana para pemimpin ini akhirnya hanya sekedar menjadi
alat Belanda, telah memperdalam jurang antara rakyat dengan pemimpin pribumi[11].
Semakin terseretnya pemimpin pribumi ke dalam kekuasaan Belanda, juga
mengakibatkan para pemimpin ini dikucilkan dari Islam. Para priai yang bersikap
lebih menyenangkan penguasa asing, begitu berhati-hati untuk menghindari
kecurigaan Belanda untuk berhubungan dengan orang-orang yang dicap Belanda
"Orang-orang fanatik"; akibatnya mereka menjadi sasaran penghinaan
para kiai dan santri[12].
Inilah yang menyebabkan munculnya semangat baru dalam keagamaan (religious
revivalism ) yang kemudian melahirkan tumbuhnya proto-nasionalisme dari
santri pondok pesantren di abad 19 M.
Di samping itu, perkembangan
yang sangat penting sejak pertengahan abad ke-19 M adalah, banyaknya anak muda
santri dari Jawa yang tinggal menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah
untuk memperdalam ilmu pengetahuan Islam. Bahkan banyak di antara mereka
menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau Madinah. Karena para
ulama ini akhirnya turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme
Islam yang berpusat di Makkah dan Madinah, maka akhirnya mereka juga turut
mempengaruhi perubahan watak Islam di Jawa. Karena semakin kuatnya keterlibatan
mereka dalam kehidupan intelektual dan spiritual Timur Tengah, Islam di
Jawa makin kehilangan sifat-sifatnya
yang lokal yang menitikberatkan pada aspek tarekat[13].
Sejak ini pulalah muncul perselisihan antara santri yang ingin mempertahankan
tradisi lokal dan bernafas Tariqot dengan santri yang ingin melakukan
pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam dan pemurnian ajaran Islam. Santri yang
terkesan lugu, saat ini mulai nampak berfikir kritis yang kemudian muncul dalam
bentuk gerakan pemurnian ajaran Islam (kelompok santri lainnya bersikukuh mempertahankan
faham dan tradisi lokalnya) dan gerakan pemusnahan kolonialisme dari bumi
Indonesia. Munculnya gerakan tersebut menjadikan pesantren berubah fungsinya
dari pewarisan dan pengembangan budaya yang berorientasi pada pendalaman ajaran
agama ansih menjadi fungsi multi orientasi --agama dan politik--. Sudah tentu
keuntungannya pesantren semakin kaya dengan kebudayaan.
C.
Penyelenggaraan Pendidikan Di
Pesantren
Pada aspek penyelenggaraan,
fungsi pesantren mengalami perubahan yang sangat berarti, yaitu dalam tahun
1910 M pesantren mulai membuka pondok untuk santri wati (antara lain Pesantren
Denanyar Jombang), dan tahun 1920-an beberapa pesantren (antara lain pesantren
Tebu Ireng Jombang dan pesantren Singosari Malang) mulai mengajarkan pelajaran
umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Berhitung, Ilmu Bumi, dan
Sejarah[14].
Ini berarti, penyamarataan kesempatan dan peran antara kaum wanita dan
laki-laki mulai terjadi.
Diperkenalkannya sistem
madrasah, kesempatan pendidikan untuk santri putri, dan pengajaran pengetahuan
umum dalam lingkungan pesantren merupakan jawaban positif para kiai terhadap
perubahan-perubahan sebagai akibat politik Belanda di Indonesia sejak akhir
abad ke-19 M. Mulai saat itu, Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat
untuk penduduk pribumi. Sekolah-sekolah ini dibuka dan dikembangkan oleh
Belanda atas saran Snouck Hurgronje. Tujuannya untuk memperluas pengaruh
pemerintahan kolonial Belanda dan membatasi pengaruh pesantren yang semakin
meluas di masyarakat. Menurutnya, masa depan jajahan Belanda tergantung pada
penyatuan wilayah tersebut dengan kebudayaan Belanda. Bila ini terjadi, berarti
merupakan westernisasi kaum ningrat dan priyayi di Jawa pertama kali. Agar
penyatuan ini menjadi kenyataan, sistem pendidikan Barat harus diperluas agar
lebih banyak penduduk pribumi yang
memperoleh pendidikan Belanda. Dasar pikirannya bahwa sistem pendidikan
Barat merupakan sarana yang paling baik untuk mengurangi dan akhirnya
mengalahkan Islam di wilayah jajahan Belanda. Dia yakin, bahwa persaingan
antara Islam dengan pendidikan model Barat, Islam pasti kalah. Snouch Hurgronje
melihat, gejala ini dengan adanya kecenderungan bahwa sampai tahun 1890 jumlah
pesantren bertambah, sedangkan 20 tahun kemudian sekolah-sekolah tipe Belanda
semakin mendapat simpati dari santri [15].
Memang benar apa yang
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, model pendidikan Barat mampu memikat para
santri, dan kemudian terjadilah perumbakan pada beberapa pesantren sejak
permulaan abad ke 20 M --ada dua alasan
mengapa masih ada pesantren yang tidak dilakukan pembaharuan, pertama para kiyai masih harus mempertahankan
dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren untuk mempertahankan dan menyebarkan
Islam, dan kedua mereka belum memiliki staf sesuai dengan kebutuhan pembaharuan
untuk mengajarkan ilmu pengetahuan umum--, yaitu masuknya madrasah dengan
menyajikan materi pelajaran umum ke pesantren, tetapi bukan berarti para santri
itu kemudian hanyut pada peradaban barat yang mendukung penjajahan Belanda,
justru terjadilah rasionalisasi di kalangan kaum santri yang menyebabkan
Belanda sendiri dan penjajah lainnya tersingkirkan. Para santri lulusan
madrasah tersebut yang kemudian di awal kemerdekaan diperkenankan memasuki
sekolah umum dan perguruan tinggi, memang dapat menggantikan posisi kiyai
sebagai kelompok berintelgensi tinggi dan pemimpin masyarakat, bahkan dapat
memasuki sektor birokrasi dan perusahaan moderen.
Sejak berkembangnya sistem
madrasah di pesantren tersebut, salah satu ciri penting dari budaya pesantren
menghilang, yaitu budaya "santri kelana". Diterapkannya sistem kelas
yang bertingkat-tingkat dan ketergantungan kepada ijazah formal sebagai tanda
keberhasilan pendidikan seorang santri, menyebabkan seorang santri harus
tinggal dalam satu pesantren saja untuk waktu bertahun-tahun. Seorang santri
hampir tidak mungkin mengulangi sebuah kitab dengan kiai yang lain setelah
menyelesaikan kitab tersebut di suatu pesantren.
Namun demikian, pesantren
dapat memetik hasil yang positif dengan sistem madrasah, yaitu keberhasilan
para kiai mengkonsolidasikan fungsi dan
kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah-sekolah
Belanda. Dalam tahun 1920-an sampai 1930-an, jumlah pesantren besar dan
santri-santrinya melonjak berlipat ganda. Sebelum tahun 1920, pesantren-pesantren
besar hanya mempunyai sekitar 200 santri, tetapi sejak permulaan tahun 1930
banyak pesantren --misalnya Tebuireng-- yang mempunyai jumlah santri lebih dari 1500. Pada masa ini, fungsi
pondok pesantren tidak hanya sebagai lembaga pewarisan dan pengembangan budaya
yang berorientasi pada tasawuf, tetapi juga budaya nasional yang berorientasi
pada rasionalitas dan tindakan-tindakan politis, serta ekonomi.
Pengaruh yang luar biasa
dari partai-partai Islam dalam kehidupan politik di Indonesia antara tahun 1910
sampai tahun 1950 sebagai besar karena pesatnya perkembangan pesantren dan
banyaknya para kiai dan santri yang terlibat dalam dunia politik. Pengaruh
dominan dari pesantren mulai menurun secara drastis setelah penyerahan
kedaulatan pada bulan Desember 1949 (dari Belanda yang ingin menguasai
Indonesia lagi kepada pemerintah RI).
Setelah penyerahan kedaulatan tersebut, pemerintah Indonesia
mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya dan jabatan-jabatan administrasi
moderen terbuka secara luas bagi mereka yang memiliki ijazah sekolah tersebut.
Hal ini mengakibatkan anak muda kurang tertarik terhadap pesantren. Banyak
pesantren kecil sejak tahun 1950 ini musnah, pesantren-pesantren besar dapat
bertahan hanya karena setelah mendirikan sekolah-sekolah umum --SD, SMP, dan
SMA-- dan kejuruan --misalnya SMEA, STM, dan sebagainya--, bahkan perguruan
tinggi di pesantren tersebut.
Pemerintah sendiri kemudian mengambil kebijakan pendidikan secara
terbuka, yaitu semua kalangan masyarakat bisa menikmati pendidikan di sekolah,
tidak hanya pada pendidikan tingat dasar, tetapi juga tingkat menengah dan
pendidikan tinggi, asalkan memiliki kemauan dan dapat memenuhi syarat
administrasi yang dibutuhkan.
Pada masa itulah fungsi pesantren dalam pengembangan budaya nasional
benar-benar terlihat. Terbukti dari perubahan orientasi pesantren ke pendidikan
nasional yang tercermin pada kurikulum, aktivitas-aktivitas pendidikan dan
pengajaran, sistem pendidikan dan pengajaran, bahkan fasilitas yang ada di
pondok pesantren.
Bagi kaum santri itu
merupakan babak baru, mengingat sebelumnya pendidikan yang ditempuh masih
terbatas pada dunia pesantren yang mengkaji ilmu-ilmu kauliyah semata. Dengan
dibukanya sistem pendidikan tinggi yang memberikan peluang kepada kaum santri
untuk mengeyam pendidikan model Barat yang memberikan ilmu-ilmu kauniyah,
menjadikan mereka selangkah memiliki kemampuan untuk mengembangkan keilmuannya,
dan lebih jauh dapat turut serta dalam percaturan zaman.
Tidak seperti kaum priyayi
yang larut dalam model pendidikan Barat, atau setidak-tidaknya bisa dibilang
menuju demikian, ternyata tidak sedikit
kaum santri yang mencoba menjaga jarak dari model pendidikan semacam
itu. Mereka tidak begitu saja menyerap ilmu-ilmu sekuler dan melepas baju
kesantriannya, tetapi pada aspek-aspek tertentu berupaya menggabungkannya.
Untuk mengimbangi keilmuan yang diperoleh dari sistem pendidikan tersebut,
mereka berupaya mengkaji Islam secara kaffah baik kauliyah maupun kauniyah,
tidak hanya dilakukan secara individual tetepi lebih banyak secara komunal,
dalam bentuk kelompok-kelompok studi dan diskusi keislaman, bahkan berupa
organisasi kemahasiswaan Islam semisal HMI --yaitu organisasi mahasiswa Islam
tertua di Indonesia didirikan oleh Lafran Pane dan teman-temannya di UII Yogyakarta
pada tanggal 5 Pebruari 1947 M--. Mereka sadar akan keterbelakangan umat Islam akibat pertikaian-pertikaian
internal, dan selalu berupaya menyatukannya, disamping mengkaji Islam dari
berbagai dimensi keilmuan, serta turut serta memberikan asset dalam pergerakan
nasional [16].
Kaum santri inilah yang
belakangan muncul sebagai cendekiawan muslim. Mereka memiliki ciri-ciri umum
seperti cendekiawan lainnya; berwawasan
lebih luas dan memiliki bekal ketrampilan profesional yang lebih
memadai, mereka suka memproduksi ide, bersikap kritis, kreatif, konstruktif,
obyektif, analitis dan bertanggungjawab. Perbedaannya dengan cendekiawan pada
umumnya adalah mereka memiliki komitmen iman dan perjuangan cukup tinggi, serta
setiap aktivitas yang mereka lakukan berpedoman pada sistem nilai moral
ilahiah. Kehadirannya mulai sangat nampak pada tahun 1970-an, yaitu dengan
menduduki posisi penting di berbagai instansi, baik pemerintah maupun non
pemerintah. Dengan kata lain, budaya kaum santri mengalami pergeseran dari budaya
keagamaan ansih --baik yang berfaham toriqot/sufi maupun berfaham qurani--
menjadi budaya politik konservatif, kemudian berubah menjadi budaya keilmuan
dan ketrampilan profesional yang penuh dengan semangat kerja di berbagai sektor
kehidupan, serta tanpa kehilangan ruuhul jihad fii sabiilillah.
Sudah tentu, kaum santri
tersebut memiliki variasi pandangan, yang pada aspek-aspek tertentu
bertentangan satu sama lainnya. Karena itulah maka kemudian muncul kelompok
muslim yang berpendidikan tinggi yang berhimpun dalam berbagai wadah
perjuangan, semisal ICMI, forum demokrasi dan sebagainya. Sekalipun demikian,
perselisihan interen kelompok dan dengan antar kelompok intelektual muslim
tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi mengingat basik pendidikan pesantren dan
kultur kehidupan yang membentuk faham keagamaan dan pola berfikir mereka
berbeda --sekalipun telah mengeyam pendidikan tinggi--, disamping itu juga
mereka mempunyai kepentingan yang berbeda pula.
Hal ini dikarenakan,
pesantren sebagai produk para santri mengalamai perubahan orientasi yang
tercermin dari munculnya dua tipe
pesantren besar, yaitu pesantren salaf dan pesantren khalaf[17].
Di mana pesantren salaf tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam
lembaga-lembaga pengajian bentuk lama,
tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum, misalnya pesantren Lirboyo dan
Ploso di Kediri, pesantren Maslakul Huda di Pati, dan pesantren Tremas di
Pacitan. Sedangkan pesantren khalaf memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam
madrasah yang dikembangkan, atau membuka sekolah umum dalam lingkungan
pesantren. Pondok modern Gontor tidak mengajarkan lagi kitab-kitab Islam klasik
dan tidak pula membuka sekolah Umum, yang ada adalah madrasah dan perguruan
tinggi agama Islam dengan menekankan penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
Pesantren Karangasem dan Moderen Muhammadiyah di Paciran-Lamongan di samping
mempunyai madrasah juga mendirikan sekolah umum --SLTP dan SMA-- bahkan
perguruan tinggi, tidak mengajarkan kitab-kitab
klasik, tetapi kitab-kitab yang bernafaskan pemurnian dan pembaharuan
faham Islam. Pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah membuka SLTP, SMA dan Universitas,
sementara itu tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik, serta
kiyainya aktif dalam partai politik dan menjadi anggota DPR dan MPR RI.
Sudah tentu masing-masing
pesantren tersebut melahirkan santri yang berbeda. Bagi pesantren salaf, santri
yang dilahirkan cenderung memiliki fanatisme keagamaan cukup tinggi dan tidak
mudah menerima pembaharuan-pembaharuan zaman, serta tidak begitu tertarik pada
persoalan politik dan jabatan di instansi-intansi pemerintah. Namun pada
pesantren khalaf terjadi variasi performan santri, mereka tertarik dalam soal
politik dan jabatan di instansi
pemerintah dengan versi berbeda. Bagi santri Khalaf yang diajarkan kitab klasik
cenderung untuk mempertahankan tradisi dan sangat tertutup dalam soal faham keagamaan,
sedangkan santri khalaf yang diajarkan kitab-kitab modern lebih cenderung untuk
mendobrak tradisi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan faham keagamaan
sesuai dengan perkembangan zaman. Keduanya memang mampu mempengaruhi dan
mewarnai tradisi berfikir, bersikap dan berprilaku para santri, sekalipun
mereka telah mengeyam pendidikan tinggi, bahkan berkecimpung dalam berbagai
aktivitas kehidupan di masyarakat dan negara.
Kita sering menjumpai
akhir-akhir ini, betapa sengitnya pertentangan mereka, bahkan terkadang
terlihat sudah tidak merupakan persaingan yang sehat lagi. Dalam soal agama
saja yang jelas itu ritual, misalnya penentuan hari raya ada yang berani mempertaruhkan.
Para kiai sendiri cenderung turut serta dalam bidang politik, menduduki jabatan
di DPR maupun MPR, sehingga sering meninggalkan pesantren dan pendidikan
santrinya diserahkan pada para asistennya.
BAB
III
ANALISA PERUBAHAN FUNGSI PESANTREN
Dengan menggunakan
perspektif teori tersebut, tentu saja berubahnya fungsi pesantren dalam
kerangka pengembangan budaya nasional tidak lepas dari jalinan makna,
kepercayaan dan nilai yang dianut bersama oleh kaum santri, disamping itu juga
makna, kepercayaan dan nilai yang dianut oleh kiyai sebagai penguasa pesantren
yang telah membesarkan para santri. Bahkan apa yang dinamakan komitmen para
kiyai, pengasuh, pengurus dan santri, power para penguasa, beserta pemanfaatan
dan pengaruh penguasan dan perkembangan budaya dan teknologi sangat menentukan
terhadap terjadinya perubahan-perubahan budaya di kalangan kaum santri.
Terjadinya perubahan fungsi
pondok pesantren dalam kerangka pengembangan budaya nasional ditandai dengan
hadirnya berbagai lembaga pendidikan di pondok pesantren, seiring perkembangan
zaman dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan pondok
pesantren.
Pesantren yang dahulunya hanya menyuguhkan aktivitas-aktivitas
keagamaan berupa kajian-kajian kitab agama berbentuk sorogan (bimbingan
individual) dan bandongan (ceramah umum) dengan tanpa pembagian kelas, berubah
menjadi lembaga pendidikan keagamaan dengan sistem madrasi --mengkaji
kitab-kitab agama dan pelajaran umum--, bahkan kemudian merupakan sentral
pendidikan dengan multi sistem, yaitu sistem pesantren, sistem madrasi, sistem
persekolahan, serta akhir-akhir ini ditambahkan pula dengan kurikulum muatan
lokal berupa ketrampilan-ketrampilan khusus[18].
Terlebih lagi dengan didirikannya perguruan tinggi di berbagai pondok pesantren
tersebut. Belum lagi masuknya media informasi ke pondok pesantren, misalnya:
TV, Koran, Majalah, Radio dan Pusat Informasi Pesantren (PIP) yang diprogram
oleh pemerintah. Sudah tentu, adanya perubahan ini tidak lepas dari peran para
kiyai sebagai penguasa tunggal di pesantren yang mulai terbuka akan perubahan
zaman.
Dengan adanya kebijakan kiai
dan pemerintah inilah memungkinkan bagi para santri untuk bisa memasuki
perguruan tinggi, tidak hanya yang berafiliasi terhadap agama --semisal IAIN--
tetapi juga perguruan tinggi umum, sehingga terjadilah mobilisasi di kalangan
kaum santri, baik dalam bidang status sosial maupun ekonomi. Pada awalnya,
lulusan pondok pesantren hanya bisa menjadi juru ngaji, petani atau pedagang
--yang terakhir ini justru tidak pernah diajarkan selama di pesantren--, kini
tidak lagi demikian, segala profesi bisa dimasuki dan dikuasai sepanjang
relevan dengan disiplin keilmuannya.
Sudah tentu, fenomena
semacam ini tidak hanya berdampak kepada
berubahnya fungsi pondok pesantren dalam pengembangan budanya lokal ke budaya
nasional, tetapi juga berdampak pada perubahan tatanan kehidupan dan budaya
kaum santri --baik yang masih berada di pondok pesantren maupun yang sudah
menyelesaikan studinya sampai perguruan tinggi--, bahkan dalam kenyataannya
untuk saat sekarang dapat menentukan budaya dan corak budaya kenegaraan, berupa
upacara-upacara kenegaraan --semisal para pejabat tidak enggan lagi mengucapkan
salam sewaktu acara tersebut-- sampai pada taraf pengambilan kebijakan
kenegaraan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat --misalnya UU Peradilan
Agama, penentuan hari raya, pengontrolan makanan halal haram, pemberantasan
kemiskinan, dan sebagainya--.
Kalau disimak lebih lanjut,
pada dasarnya semua pesantren berangkat dari sumber yang sama, yaitu ajaran
Islam. Namun terdapat perbedaan filosofis di antara mereka dalam memahami dan
menerapkan ajaran-ajaran Islam pada bidang pendidikan sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat yang melingkarinya. Perbedaan-perbedaan itu pada
dasarnya berpulang pada perbedaan pandangan hidup kiai yang memimpin pesantren
mengenai konsep teologi, manusia dan kehidupan, tugas dan tanggungjawab manusia
terhadap kehidupan dan pendidikan. Dalam kenyataannya, masing-masing pesantren
mempunyai ciri khas sendiri-sendiri yang berbeda satu dari yang lain, sesuai
dengan tekanan bidang studi yang ditekuni dan gaya kepemimpinan yang dibawah[19].
Karena itu pula dalam pengembangan budaya juga berfariasi, ada pondok pesantren
yang berupaya mempertahankan dan mengembangkan budaya yang bercorak tradisional tetapi ada juga yang
mengembangkan budaya yang lebih bercorak moderen sesuai dengan perkembangan
zaman.
Pada awalnya, pondok
pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu lembaga yang
dipergunakan untuk penyebaran agama dan
berfungsi sebagai pengembangan budaya lokal, yakni tempat mempelajari agama
Islam. Mengingat sampai abad 16 M pengaruh ajaran tasawuf dan Hindu sangat
kuat, maka perfoman kaum santri lebih bercorak sufi dan masih bernafas Hindu
sentris, dalam arti mereka lebih cenderung mengamalkan faham tersebut dalam
kehidupan individual dan berlaku pada kelompok santri saja.
Selanjutnya lembaga ini mulai
abad 16 M, fungsinya dalam pengembangan budaya semakin meluas, yakni selain
sebagai pusat penyebaran dan belajar agama yang sifatnya lokal, juga
mengusahakan tenaga-tenaga bagi pengembangan agama Islam ke masyarakat yang
lebih luas. Mengingat, umat Islam sudah berkuasa, ditandai dengan munculnya
beberapa kerajaan Islam, misalnya di Aceh, Demak, Giri, ternate, Tidore, dan
Gowa Talo di Makasar. Maka terjadilah perumbahan orientasi pesantren, adanya
keinginan untuk mencetak tenaga-tenaga yang mampu menyiarkan agama yang bernafaskan Islam secara murni tanpa
diwarnai ajaran Hindu. Untuk mencapai missi itu, maka dibukalah madrasah di
beberapa pesantren dengan mengajarkan kitab-kitab agama dalam bidang
jurisprodensi, teologi dan tasawuf. Orientasinya, bagaimana agar pesantren
melahirkan para santri yang mampu menyiarkan agama Islam secara benar dengan
tanpa menonjolkan rasa kesukuan dan berada dalam satu faham. Inilah yang
menyebabkan para santri yang dihasilkan dari pesantren ini memiliki semangat
juang tinggi dalam menyebarkan Islam, dan tidak muncul diskriminasi antar
santri (tidak ada istilah santri tradisional dan santri modern).
Mengingat agama Islam
mengatur bukan saja amalan-amalan peribadatan, apalagi sekedar hubungan orang
dengan Tuhannya, melainkan juga perilaku kelakuan orang dalam hubungan
dengan sesama dan dunianya. Maka terjadilah perubahan dipesantren yang
berimbas pada performan kaum santri di abad 18 M. Fungsi pondok pesantren
berubah menjadi pusat gerakan politik dengan melahirkan para santri yang
memiliki protonasionalisme di abad 19 M. Hal ini dikarnakan adanya penjajahan
yang cukup kejam dari kaum Belanda, bahkan kaum santri didiskriditkan. Di
samping itu terjadi pencerahan di kalangan kaum santri, sehingga mereka
tersadarkan diri untuk memusuhi terhadap segala bentuk penjajahan.
Di samping itu, hadirnya para
ilmuwan Islam pada abad 19 M merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi
perubahan orientasi pesantren dan tradisi para santri yang lebih rasional dan
penuh dengan tindakan-tindakan politis. Ditopang lagi adanya kebijakan politik
pendidikan Belanda yang mulai terbuka untuk memperkenalkan budayanya di
pesantren menjadikan kaum santri semakin cerdik
dan tanggap akan eksisitensi dirinya dan bagaimana seharusnya dia
menentukan kiprah kehidupan melawan penjajahan. Sekalipun pada masa ini
kemudian muncul kelompok santri tradisionalis dan modern (dengan adanya gerakan
wahabi tersebut), tetapi mereka mampu menghalau segala bentuk penjajahan.
Terjadilah perubahan dari budaya nrimo ing pandum menjadi budaya yang lebih
rasional dan frontal terhadap kebatilan.
Pesantren berubah fungsinya,
dari sentral kajian agama menjadi pusat gerakan bagi penyebaran agama, gerakan
bagi pemahaman kehidupan keagamaan dan
gerakan-gerakan sosial-budaya.
Kemampuan pondok pesantren bukan hanya dalam pembinaan pribadi muslim,
melainkan juga bagi usaha mengadakan perubahan dan perbaikan budaya dan
kemamasyarakatan. Pengaruh pondok pesantren tidak saja terlihat pada kehidupan
santri dan alumninya, melainkan juga meliputi kehidupan masyarakat sekitarnya[20].
Di kalangan para kiai sendiri, karena sebagai arsitek kemasyarakatan
(social engineer), ia harus memperhatikan selera masyarakat. Rupanya
karena inilah mereka mampu bertahan untuk mengembangkan lembaga-lembaga
pesantren dan disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan masa itu, sehingga tidak
heran bila berubahan-perubahan sistem penyelenggaraan pesantren dari masa ke
masa terus terjadi dengan tetap mempertahankan faham keagamaannya (aliran yang
dianut). Sekalipun sistem madrasah sejak abad 19 M (bahkan 16 M) telah ada,
kemudian hadirnya lembaga-lembaga pendidikan umum di pesantren sejak adanya
kebijakan pemerintah untuk mengembangkan pendidikan umum, kemudian hadir pula
perguruan tinggi beserta teknologi tepat guna di pesantren; ternyata ciri khas
kesantrenannya tidak hilang --dalam arti ada yang tetap bersikukuh
mempertahankan tradisi tasawufnya sebagaimana semula--. Tentu saja, kondisi ini
juga mempengaruhi tradisi kaum santri,
sebagai produk pesantren.
Diskriminasi di kalangan kaum santri --yaitu adanya santri tradisional dan santri modern--
yang mulai muncul sejak hadirnya kaum wahabi di Indonesia ditopang oleh politik
etis Belanda, terus berlanjut hingga sekarang, sehingga tidak heran sering terjadi tindakan politis antar
santri sendiri. Semula pertentangan
mereka yang berkaitan dengan faham keagamaan yang sifatnya khilafiyah, berubah
menjadi perselisihan dalam perebutan kekuasaan.
Fungsi pesantren dalam kerangka pengembangan budaya Nasional. Pondok
pesantren semula hanya berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya lokal yang
diwarnai oleh nafas keagamaan ansih, penuh kedamaian dan rasa persatuan,
berubah menjadi sentral pengembangan budaya dengan nafas politik keagamaan, bahkan politik individual -- yaitu
terjadinya konflik antar kaum santri sendiri karena perebutan kekuasaan-- yang
bersekala nasional dan besar. Agama terkadang digunakan sebagai alat untuk
menopang kepentingan pribadi dan lupa kepentingan umat Islam. Di kalangan kiyai
juga terjadi perubahan, dari figur kiyai yang pengasah dan pengasuh santri di
pondok pesantren menjadi kiyai agung --menjadi politikus dan birokrat-- yang
terkadang tugas kekiyaiannya terabaikan. Sitem penyelenggaraan pesantren semula
berbentuk sorogan dan bandongan dengan aktivitas keagamaan ansih berubah
menjadi lembaga pendidikan dengan sistem madrasah, sistem sekolah bahkan
memiliki perguruan tinggi dengan berbagai aktivitas kependidikan --agama,
iptek, ekonomi, politik, dan sebagainya--. Bangunan gedungnya tidak lagi
berbentuk tradisional, tetapi sudah mengarah ke bentuk modern dengan
ruangan-ruangan khusus.
Menurut Kuntowijoyo, pesantren kini tidak semata-mata sepenuhnya
merupakan lembaga desa. Perjalanan pesantren melampaui tiga fase, yaitu ketika
pesantren masih terpadu dengan desa, kemudian menjadi terpisah dari desa, dan
akhirnya dapat menjadi lembaha yang sama sekali terasing dari desanya.
Pergeseran ini seiring dengan bertambah besarnya lembaga pesantren dan jumlah santrinya[21].
Sekalipun demikian, pesantren tetap berfungsi sebagai pengembangan
dan pewarisan budaya asli --yakni budaya santri-- yang sudah tentu sangat besar
sumbangannya terhadap pengembangan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional
akan mantap apabila di satu fihak budaya-budaya nusantara asli tetap mantap dan
di lain fihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh
warga masyarakat Indonesia. Budaya-budaya asli akan tetap mantap apabila diberi
ruang dan diambil tindakan penunjang terbatas tertentu[22].
Kebudayaan nasional hanya dapat berkembang manakala merupakan usaha
bersama keseluruhan masyarakat dan pemerintah, dengan berpatokan pada UUD 45[23].
Begitu pula pondok pesantren akan dapat mengembangkan kebudayaan nasional manakala
terjalin kebersamaan antara kiyai, pengasuh, santri, fihak yayasan dan
pemerintah dengan tetap berpatokan pada UUD 45. Kebersamaan itu pula yang
menjadi penjamin terjadinya pengalihan cara dan pandangan hidup itu dari
generasi ke generasi berikutnya. Tetapi mustahil bila membayangkan proses
pengalihan itu sebagai pewarisan barang jadi serba utuh menyeluruh dan serba
kedap pengaruh, bahkan menyirat sanggahan terhadap adanya dinamika dalam
kehidupan yang membudaya sebagaimana nampak nyata sepanjang sejarah kemanusiaan
sendiri. Meskipun demikian, perubahan yang terjadi tidak mungkin terlepas sama
sekali dari apa yang telah ada sebelumnya [24].
KESIMPULAN
Dengan memperhatikan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
telah terjadi perubahan-perubahan fungsi Pondok Pesantren dalam kerangka
pengembangan kebudayaan nasional. Pondok pesantren semula hanya berfungsi
sebagai pusat pengembangan budaya yang bernafaskan tasawuf bersekala kecil dan
lokal, berubah menjadi sentral pengembangan budaya bernafaskan politis
bersekala besar, nasional dan global dengan tetap berpedoman pada UUD 1945.
Agama terkadang cenderung digunakan sebagai alat untuk menopang kepentingan
pribadi --kelompok--. Di kalangan kiai juga terjadi perubahan, dari figur kiai yang
pengasah dan pengasuh santri di pondok pesantren menjadi kiyai agung --menjadi
politikus dan birokrat-- yang terkadang ada kesan tugas kekiyaiannya
terabaikan.
Terjadinya perubahan fungsi pondok pesantren dalam kerangka
pengembangan budaya nasional tersebut dikarnakan adanya perubahan orientasi
dunia pesantren atas kebijakan kiai sebagai penguasa tunggal pesantren (powership),
berubahnya cita-cita edial para pengasuh dan para santri, adanya kepentingan
pengurus pesantren dan pemerintah
terhadap pesantren, dan semakin besarnya pengaruh perkembangan peradaban
dunia yang dinafasi oleh science dan teknologi.
Perubahan fungsi pondok pesantren dalam kerangka pengembangan
kebudayaan nasional tersebut dapat berimplikasi baik terhadap kaum santri
maupun pranata kehidupan pada masa mendatang. Misalnya, konflik-konflik antar
santri sendiri semakin seru, hal ini dikarenakan fahamnya berbeda (fanatisme
golongan tinggi ) dan masing-masing mereka ingin menduduki posisi penting di
pemerintahan. Akibatnya, sekalipun banyak kaum santri yang menduduki posisi
penting di pemerintahan, penciptaan kehidupan yang lebih mendukung bagi
kepentingan umat Islam menjadi dipertanyakan dan agama dipolitisir untuk
menopang kepentingan individu dan golongan, bahkan urusan agama yang semula
sakral berubah tidak sakral lagi --lebih cenderung dipolitisir--.
Jika ini terjadi dikhawatirkan kaum santri semakin kehilangan makna
kesantriannya dan dunia pesantren tercerabut dari akar kesantrenannya. Dari
pesantren sulit terlahirkan santri apalagi kiai yang benar-benar mampu
menjalankan tugas suci demi menegakkan agama Islam di tengah-tengah gencarnya
kemajuan dan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan banyak pesantren yang
beralih fungsi menjadi lembaga pendidikan yang menyuguhkan formulasi pengetahuan
umum dan sedikit kecakapan agama. Di kalangan kiyai sendiri tidak begitu
kosentrasi untuk mengelola pesantrennya demi lahirnya sosok santri seperti awal
(benar-benar tawadhuk dan mampu berjihad fi sabilillah dengan tanpa pamrih).
Mereka turut aktif dalam dunia politik guna menopang status sosial yang lebih
tinggi.
DAFTAR RUJUKAN
Anshori, Isa at.al; Cendekiawan Muslim Dalam
Perspektif Pendidikan Islam, p.t. bina ilmu, Surabaya, cet. ke 1, 1991
Benda, H.J.; The Crecent and the Rising Sun, Indonesia
Islam Under the Japanese Occupation of Java, W. Van Hoeve, ltd, The Haque,
1958
Bachtiar, Harsya W.; Budaya dan Manusia Indonesia,
Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 1987.
Depag RI; Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren,
Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren, Jakarta, 1994/1995
Dhofir, Zamakhsyari; Tradisi Pesantren Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta, cet. ke empat, 1985
Djajadiningrat, A; Herinneringen Van Pangeran Ario
Achmad Djajadiningrat Amsterdan and Batavia; G. Kolff, 1936
Effendi, Sofian; dkk.; Membangun Martabat Manusia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Hassan, Fuad; Renungan Budaya, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Kuntowijoyo; Paradigma Islam Interpretasi Untuk
Aksi, Mizan, Bandung, 1991
Koentjaraningrat; Pengantar Ilmu Antropologi,
Aksara Baru, Jakarta, 1986
----------------; Persepsi Tentang Kebudayaan
Nasional, LIPI, Jakarta, 1982
Kartodirdjo, Sartono; The Peasant's Revolt in
Barten in 1888 The Hague, 1966, dan Protest Movements in Rural Java, Oxford
University Pres, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973
Mastuhu; Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,
INIS, Jakarta, 1994
Majelis Ulama Indonesia; Amanat Sejarah Ummat
Islam Indonesia, Keputusan Rapat Pengurus Paripurna ke II, Sekretariat MUI,
Masjid Istiqlal, Jakarta, 1986
Oepen, Manfred at. al; Dinamika Pesantren,
P3M. Jakarta, 1988
Pusat Studi Interdisipliner tentang Islam; Pembangunan
Pendidikan dalam Pandangan Islam, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1986
Raharjo, M. Dawam (editor), Pesaantren dan
Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1988
Raffles, S.t.S.; The History of Java, Vol II,
2 Ad Editio, London, 1830
Suseno, Franz Magnis; Filsafat Kebudayaan Politik,
Gramedia, Jakarta, 1992.
Stoddard, Lothrop; The New Word of Islam, tp.,
Jakarta, 1966
Sanderson, Sthephen K; Sosiologi Makro, CV.
Rajawali Pres, Jakarta, edisi kedua, cet. pertama, Januari, 1993
Steenbrink, Karl A; Pesantren, Madrasah, Sekolah,
LP3ES,Jakarta, 1986
--***--
[1] Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makrro, (Jakarta: CV.
Rajawali Pers, 1993), 6-7.
[2] Manfred Oepen, Dinamika Pesantren, (Jakarta:P3M, 1988), 139
[3] Ibid, 140
[4] Sofian Effendi, Membangun Martabat Manusia,
(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1992), 286
[5] Depag RI , Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren,
(Jakarta: Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren, 1994/1995), 668
[6] Majelis Ulama’ Indonesia ,
Amanat Sejarah Umat Islam Indonesia ,
(Jakarta, Sekretariat MUI,1986), 13-14.
[7] S.T.S. Raffles, The History of
Java, Vol II, (London: 2 Ad Editio, 1830),2.
[8] Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES, 1985), 34.
[9] Lothrop Stoddard, The New Word of Islam, (Jakarta:tp,1966),
303-306.
[10] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
INIS,1994), 21.
[11] Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt in Barten in 1888 The
Haque, 1966 and Protes Movements in Rural Java, (Singapore: Oxford
University Press, Institute of Southeast Asian Studies, 1973), 155
[12] A. Djajadiningrat, Herinneringen Van Pangeran Ario Achmad
Djajadiningrat Amsterdam and Batavia ,
(G. Kolff,1936), 23.
[13] Sartono Kartodirjo, Op Cit, 140-141.
[14] Zamakhsyari Dhofir, Op Cit, 38
[15] H.J. Benda, The Cresent and the Rising Sun, Indonesia Islam
Under the Japanese Occupation of Java, (The Haque: W.Van Hoeve, 1958), 27.
[16] Isa Anshori, Cendekiawan
Muslim Dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Surabaya: pt. Bina ilmu, 1991),
8-7.
[17] Zamakhsyari Dhofier, , 41.
[18] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (
Jakarta: LP3ES, 1986), 1-102.
[19] Mastuhu, Op Cit, 19.
[20] M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:
LP3ES, 1988), 61.
[21] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung:Mizan,1991), 254.
[22] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1992), 41.
[23] Harsya W. Bachtiar, Budaya dan Manusia Indonesia ,
(Yogyakarta:Hanindita Graha Widya,1987), 25
[24] Fuad Hassan, Renungan Budaya, (Jakarta, Balai Pustaka,
1989), 15.
0 Comments