NIKAH SIRI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat
berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh
jenis media (audio, visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan
tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan
tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning
terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh
masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang
berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan
dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi :
pemberitaan pernikahan siri yang dilakukan oleh selebritis) yang melatarbelakangi
penulis dan tim penyusun untuk memilih topik “Nikah Siri” sebagai topik yang
diangkat dalam pembuatan makalah dan presentasi mata kuliah Agama dan Etika
Islam. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi,
masih banyak mahasiswa yang salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti
baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor
yang melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Siri” ini kami angkat.
Besar harapan penulis dan tim penyusun agar makalah ini
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian
informasi terkait topik pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun
berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai
sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat
dijadikan sebagai referensi oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
B. Tujuan
Tujuan tim penyusun menulis dan menyusun makalah ini
antara lain :
a. Mahasiswa dan masyarakat lainnya (pembaca makalah dan
audiens presentasi) memahami berbagai definisi akan nikah siri
b. Mahasiswa dan audiens lain mengerti dan mengetahui
landasan hukum terkait nikah siri baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan
pembahasan berbagai rancangan undang-undang
c. Mahasiswa dan audiens lain mengetahui dampak positif
dan dampak negatif dari nikah siri
d. Mahasiswa dan audiens lain dapat mengeluarkan berbagai
pendapatnya terkait nikah siri dan berdiskusi satu sama lain
e. Memenuhi salah satu syarat atau tugas Agama dan Etika
Islam
C.
Manfaat
a.
Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan
negatif-positifnya nikah siri audiens akan dapat mengerti bahwa nikah siri
lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapat dijadikan pencegahan
akan terjadinya nikah siri
b.
Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan
tidak baiknya pernikahan siri terutama untuk latar belakang non-kekurangan
biaya
c.
Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya nikah siri itu
dan tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya
nikah siri
d.
Menambah angka audiens atau masyarakat yang memahami
berbagai fakta, pro dan kontra terkait pernikahan siri dan hukum-hukum yang
terkait nikah siri
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum
dengan :
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan
semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau
karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau
hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat;
Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun
tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil
negara. Ada
yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan;
ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
B.
Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama, pada
dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah
agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah
bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen
resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua,
pada era keemasan Islam, di mana sistem
pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai
satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.
Ketiga,
dalam khazanah peradilan Islam, memang benar,
negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan
tindakanmukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang
Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan
aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum
ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan
lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.
Keempat,
jika pernikahan siri dilakukan karena faktor
biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Kelima, pada
dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan
dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy.Anjuran untuk melakukan
walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Nikah Siri Menurut Hukum Negara
RUU
Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama
Bidang Perkawinan yang akan memidanakan
pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini
tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk
Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam
bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain
kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan
perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU
itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda
kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga
negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank
syariah sebesar Rp500 juta.
B.
Nikah Siri Menurut Islam
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya
Islam telah melarang
seorang wanita menikah tanpa wali.Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah
hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw
bersabda;
لا
نكاح إلا بولي
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali
Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI:
230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah
al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’,
bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih.
Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR
yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI:
230 hadits ke 2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لا
تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah
(seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR
Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI:
231 hadits ke 2649)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali
adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt,
dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum
menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam
pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali
dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang
hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada
pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni
pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada
lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara
berbeda; yakni
(1)
hukum pernikahannya; dan
(2)
hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang
wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
pertama,
meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya;
kedua,
mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain
sebagainya;
ketiga,
melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu
lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah
ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya,
pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai
berikut;
(1)
wali,
(2)
dua orang saksi, dan
(3)
ijab qabul.
Jika
tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
C.
Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
(1)
untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;
(2) memudahkan masyarakat untuk memberikan
kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua
mempelai;
(3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah
seseorang sudah menikah atau belum.
Hal
semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya
jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif
dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak
memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan
sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah
adanya fitnah.
D.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun
pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat,
hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya
praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak,
dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui
sama sekali.Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat
nikah adalah;
Pertama,
ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan
kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang
surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau
sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan
pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal,
keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua,
surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau
hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini
terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan
perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat
nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal
mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan
keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia
tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa
mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Oleh
karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan
pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga
berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin
memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran
surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru
disalahgunakan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
a. Bahwa
penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan hal
positif daripada hal negatif
b. Penguasa
(dalam hal ini pemerintah) harus mengawasi
dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat,
agar surat nikah tidak justru disalahgunakan
c. Pelaku nikah siri hendaknya tidak
dipidanakan karena nikah siri dapat terjadi oleh berbagai faktor dan secara
syariat pernikahan tersebut sah apabila terdapat
(1)
wali,
(2)
dua orang saksi, dan
(3)
ijab qabul.
B. Saran
Sebaiknya pembahasan mengenai nikah siri tidak hanya dilakukan oleh kalangan
tertentu saja namun akan lebih baik apabila disosialisasikan pada masyarakat
baik-buruknya dan berbagai pro-kontra yang terjadi agar masyarakat dapat
terbantu dalam mengambil keputusan dan mengurangi terjadinya pernikahan siri.
Apabila sosialisasi agak sulit dapat dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar
yang memahami detail hukum dan seluk-beluk nikah siri ini untuk berdiskusi
langsung dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
a. Artikel “Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang
Perkawinan”
b. Google.com
keyword : definisi nikah siri
c.
Buku Agama Islam
Sekolah Menengah Atas kelas XII
0 Comments